Hanan memandang Sami dengan binar yang terus berpendar. Senyumnya juga terus mengembang.
“Mau tambah lagi, Sami?”
Sami baru saja menghabiskan suapan terakhir dari piring nasi yang kedua. Ia menggeleng tanpa suara. Setelah menenggak habis segelas air putih, Sami menyandarkan punggungnya dan memandang Hanan yang duduk tepat didepannya. Hanya terhalang sebuah meja makan persegi ukuran sedang. Hanan sedang memandangnya dengan senyum cerah.
“Aku harap kau tak salah sangka padaku,” kata Sami.
“Maksudmu?”
“Hari ini, banyak hal yang sudah terjadi, benar kan?” Sami mengangkat kedua alisnya. Senyum Hanan menguncup perlahan demi dilihatnya suara Sami yang kembali mendingin. Berubah lagi, untuk kesekian kali.
“Aku membelikanmu sesuatu, karena aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.”
Sekarang senyum di bibir Hanan telah hilang sempurna. “Apa itu?” tanya Hanan getir. Bukankah ini lucu? Seorang suami meminta balasan dari hal yang memang ia diwajibkan melakukannya. Hanan merasa, Sami adalah satu-satunya suami dimuka bumi yang melakukan hal itu.
“Mulai sekarang, kau harus memasak untukku. Pagi, siang, malam. Juga menyiapkan bekal. Kau tahu, makanan kantin tak terlalu enak.”
Hanan memandang Sami dengan berjuta ekspresi. Kecewa, marah, kesal, sedih, tapi juga tak peduli. Berjuta perasaan yang campur aduk justru menampilkan wajah dingin dimuka Hanan. Jadi sikap baiknya hari ini, agar setiap hari aku memasak untuk laki-laki ini?
“Oh, mencuci dan menyetrika juga,” tambah Sami tanpa emosi.
Mencuci dan menyetrika juga? Tak tahukah Sami, bahwa ia tak perlu merayu Hanan dengan membelikannya sesuatu hanya untuk menyuruhnya memasak dan melakukan pekerjaan rumah? Jika Sami menganggapnya istri, ia akan melakukan semua hal itu tanpa Sami minta. Dengan senang hati. Tapi mengapa Sami menuntutnya menjadi istri tapi tak pernah bersikap seperti suami. Hanan menghela nafas panjang meluangkan jalan nafas yang terhimpit sempit.
“Aku tidak mau,” jawab Hanan. Sudah terlambat. Jika Sami tak membuatnya kecewa selama sebulan yang lalu, dengan senyum ia akan menyambut tawaran Sami. Tapi kenapa Sami baru mau makan masakannya sekarang? Kenapa bukan dari dulu? Kemana Sami sebulan yang lalu? “Aku tak mau,” ulang Hanan menegaskan.
Sami memandangnya takjub. “Apa?”
“Aku tidak mau,” Hanan menjawab tenang.
“Aku sudah membelikanmu banyak hal.”
Hanan beranjak masuk kekamarnya. Beberapa saat kemudian ia keluar sambil membawa barang belanjaan dari supermarket.
“Kau membeli tenagaku, waktuku, keahlianku untuk memasak, mencuci dan menyetrika seumur hidupku hanya dengan bayaran ini? Kau sudah salah memilih orang untuk berbisnis Tuan Sami.”
Sami memandang belanjaan itu kaget.
“Kau? Bisnis? Siapa yang mengatakan ini bisnis?” Emosi Sami mulai naik. “Aku menunaikan kewajibanku sebagai suami, dan kau harus menunaikan kewajibanmu sebagai istri. Itulah maksudnya.”
“Oh, jadi kewajiban suami itu hanya memberi belanja istri sebanyak tiga kresek. Itu yang kau namakan kewajiban suami?”
Sami diam.
“Kalau kau butuh orang yang memasak dan mencuci bajumu, bayar saja orang lain,” Hanan berdiri dan berbalik menuju kamarnya. Sepertinya malam ini akan Hanan habiskan dengan menangis.
“Tunggu.” Sami menahan langkah Hanan. Apakah ia mulai menyadari kesalahannya?
“Kau tidak mengembalikan semuanya,” sambung Sami.
Hanan berbalik lagi melihat Sami. Sami gila! Ia memanggilnya lagi untuk meminta barangnya dikembalikan? Hanan masuk lagi kekamarnya dan mengambil sebuah kantong kresek yang sengaja ia tinggalkan. Tangannya sedikit bergetar. Isinya yang membuat Hanan meninggalkan kresek ini di kamar. Perlukah ia kembalikan? Bagaimana jika Sami melihat isinya? Tapi Hanan tak punya pilihan lain. Ia bergegas keluar dan meletakkan kresek itu dengan tangan gemetar.
Sami melihat tangan itu, lalu melihat wajah Hanan yang pucat dan kemerahan. Jika wajah itu memerah, biasanya penyebabnya malu. Tapi malu terhadap apa? Apa karena isi kresek itu? Sami meraih pakaian yang menyembul keluar. Sebuah tank top warna hitam. Dada Sami tiba-tiba berdesir.
“Kau membeli barang seperti ini?” mata Sami berkilat pada Hanan. Tidak, sebenarnya Sami tak ingin bersikap seperti itu. “Kau ini mau merayuku ya?”
Hanan menelan ludah pahit. “Aku hanya akan memakainya dikamarku, Sami.”
“Tapi isi kamarmu bisa terlihat bahkan ketika aku membuka kamarku! Kau pikir aku laki-laki seperti apa?” Sami marah. Tapi sebenarnya bukan pada Hanan. Hanan yang ada dihadapannya, jadi serta merta gadis itu yang menjadi sasarannya.
“Karena itulah aku membelinya, Sami. Aku kepanasan karena terus pakai baju kurung bahkan saat gorden kamar kututup. Apa dirumah ini aku tak memiliki privasi sedikit pun?” Hanan bicara dengan suara lemah.
“Kalau kau benci uangmu dipakai membeli sesuatu yang tak kau sukai, aku akan membayarnya.” Hanan meraih pakaian itu dan menariknya mendekat. Kekecewaan sudah sampai ke ubun-ubunnya. Kekecewaan yang menyakitkan dan menyedihkan. Seluruh tubuhnya terasa terhimpit batu besar. Berat..., sesak...., sakit...
Allah... beri aku celah bernafas...
“Sampai kapan kau akan melakukan hal seperti ini padaku, Sami?” tanya Hanan. Ia sudah menyerah. “Jika kau tak menginginkan aku, aku akan keluar dari rumah ini dengan senang hati,” Hanan menguatkan intonasi suaranya agar terlihat tegar dihadapan Sami, meski sebenarnya, tak perlu sama sekali.
“Aku tak akan mengeluarkanmu dari sini. Kau ingat kata-kataku dulu kan? Kecuali...”
Hanan menunggu. “Apa?”
“Jika Ibu sudah tak ada...,” Sami berbisik ragu. Hanan menyandarkan tubuhnya. Ia benar-benar lemas sekarang. Sami menikahinya karena Ibu. Jika Ibu meninggal, ia akan dilepaskan begitu saja. Sungguh tragis.
“Jika Ibu sudah tiada ya...” Hanan mengulang. “Itu bisa terjadi kapan pun. Satu tahun, lima tahun, bahkan dua puluh tahun. Tak ada yang tahu kapan. Saat waktu itu tiba, kau menceraikanku dan kau bisa menikah dengan wanita berambut coklat itu, jika dia masih menunggumu. Setua apa pun kau. Tapi aku..., jika saat aku keluar dari rumah ini setelah masa cantikku pergi, menurutmu siapa yang akan menikahiku? Bukankah itu artinya, aku tak akan pernah merasakan dicintai seroang laki-laki? Oh, Tuhan..., aku tak pernah menyangka aku dinikahi seorang laki-laki yang licik seperti ini,” Hanan memandang Sami dengan tawa pahit.
Sami tertunduk. Tidak Hanan, maksudku bukan begitu. Aku memang mencintainya dan tidak mencintaimu. Tapi aku tak pernah bermaksud begitu sedikit pun..
“Tapi baiklah..., paling tidak, kau sudah memberikan kejelasan padaku tentang hubungan diantara kita berdua...”
“Hubungan... kita... berdua?” Sami mendongak.
“Pernikahan pura-pura. Benar kan? Kau akan menikahiku untuk satu masa tertentu.”
“Tidak Hanan, kau sedang membicarakan sesuatu yang haram.”
“Baik. Tak ada pernikahan yang pura-pura. Tapi tetap saja, suatu saat, kau sudah membulatkan tekad untuk meninggalkanku dan menikahi... siapa?” Hanan bertanya nama gadis itu. Sami menjawabnya dengan mengalihkan pandangan.
“Pernikahan apapun yang sedang kita jalani, Sami... kita bukan suami istri yang sesungguhnya... hh! Kau benar-benar kejam...,” lagi-lagi Hanan tertawa pahit. “Tapi baiklah. Karena sudah ada kejelasan diantara kita tentang masa depan, sekarang, mari kita jalani hari-hari dengan urusan masing-masing. Bagaimana?” Hanan meminta persetujuan Sami.
“Itu artinya...”
“Artinya, aku akan hidup dan mengurus diriku sendiri, dan kau akan hidup dan mengurus dirimu sendiri. Jangan ikut campur urusanku, dan jangan pernah masuk batas privasiku. Aku juga tidak akan melakukannya padamu.”
“Batas privasi?” tanya Sami bego.
“Kamar kita adalah batas privasi kita. Ditempat itu, kita bisa bebas melakukan apa saja, dan salah satu diantara kita tidak boleh melanggar batas itu. Tapi diruangan luas ini, kita bisa saling menghormati. Bagaimana? Kau setuju denganku?”
Sami memandang Hanan tanpa ekspresi. Kenapa pembicaraan mereka telah melesat sejauh ini? Melesat tak terkendali... tak bisa dicegah, juga tak bisa dihentikan...
“Apapun yang kau inginkan,” kata Sami dengan suara pelan. Hanan, aku hanya ingin makan masakanmu. Cuma itu. Kenapa akhirnya jadi seperti ini? Kata-kataku yang mana yang salah?
“Kau masak untuk dirimu sendiri, mencuci baju dan piring, menyetrika, membersihkan kamarmu sendiri. Lalu untuk urusan ruang tengah, selang-seling saja...”
Sami memejamkan matanya. Kumohon..., hentikan percakapan tentang peraturan konyol ini...
“Jika butuh bantuan, kau bisa memperkerjakan seorang pembantu. Tapi itu bukan aku...”
“Lalu?” Sami menantang.
“Itu saja.” Hanan berdiri dan melangkah gontai. “Oh, satu lagi. Karena kau seorang laki-laki, maka sudah menjadi tugasmu untuk memenuhi biaya oprasional rumah ini. Air, listrik, dan belanja sehari-hari. Uangku akan kutabung. Setelah keluar dari rumah ini, aku pasti akan membutuhkannya.” Hanan melanjutkan langkahnya.
“Itu saja?” tanya Sami. “Kenapa kau tak minta aku mengembalikan uang air, listrik dan belanja yang telah terlanjur kau keluarkan?” Sami berkata pedas. Hanan berhenti tepat didepan pintunya. “Atau kenapa tak sekalian minta ganti rugi untuk satu hari yang telah kau korbankan karena tinggal dirumah ini? Kau minta berapa?”
Hanan menarik nafas, tapi udara tak kunjung masuk kerongga dadanya...
“Satu juta?”
Hanan membalikkan badan. Ia tak bisa lagi bertahan. Pertahannya telah goyah dari tadi. Sekarang sudah tak bisa...
“Oh tenang saja, aku akan membayarmu lima kali lipat dari itu!” Sami berdiri dan menghentak kakinya, melangkah marah menuju kamarnya. Satu gebrakan pintu membuat tangis Hanan tumpah. Apa ini? Rumah tangga seperti apa yang tengah ia jalani...
Setelah menutup pintu dengan keras, Sami mengobrak-abrik tempat tidurnya. Melempar bantal dan selimut, menarik sprei. Setelah itu Sami terduduk dan meremas rambutnya.
“TOLOL!!” sebuah kepalan tangan kanan ia pukulkan di pintu lemari.
Sementara Hanan terduduk disamping tempat tidurnya dan menangis semalaman. Tidak. Sebelumnya ia tak pernah menangis. Ia tumbuh dalam dunia yang keras. Bekerja hingga malam, mencuci piring sepanjang waktu hingga tangannya keriput karena lembab, atau dipukul dengan kayu berkali-kali dipunggungnya, sama sekali ia tak menangis. Tapi mengapa rasa sakit didada ini tak mampu aku tahan...
* * *
Setelah hari itu, hubungan mereka kembali ke awal. Tidak, bahkan mungkin lebih buruk dari sebelumnya. Sekarang, sama sekali tak ada tutur kata, tak ada sapa. Bahkan tak ada saling melihat, tak ada saling memperhatikan. Mereka bersikap tak mau tahu, sendiri-sendiri. Benar-benar seperti orang asing. Yang satu meniadakan keberadaan yang lainnya.
Hanan jelas tersiksa dengan keadaan itu, tapi ia menguatkan diri. Sebenarnya, ia bisa saja keluar dari rumah ini secepat ia bisa. Tidur di butik miliknya (karena kos tempatnya dulu sudah diisi orang lain) atau dimanapun asal bukan disini. Tapi tentu saja, ia masih ingat dengan Ibu angkatnya. Ia masih ingin membalas budi perempuan itu dengan, paling tidak, tidak menyakiti hatinya dengan meninggalkan anak kesayangannya.
Cuaca sangat cerah pagi itu. Cuaca ekstrim yang justru ditunggu saat masuk musim hujan seperti ini. Hanan menghabiskan waktu dengan bersila diteras kamarnya, menghadap ke taman. Dihadapannya sebuah laptop terbuka, dan Hanan tengah asyik memelototi berita peragaan busana yang digelar di Mesir. Busana muslimah tentu saja. Jadi, jangan membayangkan peragaan busananya sama persis seperti di Paris. Tapi peragaan ini adalah salah satu yang sangat terkenal di kalangan perancang busana muslim seperti dirinya.
Beberapa perancang busana dari Indonesia menyumbang karya disana. Hanan tersenyum. Kapan ia bisa ikut rombongan sebagai utusan dari perancang Indonesia ya? Hanan tertawa pelan, menertawakan lamunannya sendiri. Berani sekali berkhayal seperti itu! Aku kan cuma perancang kecil yang hanya menelurkan karya di satu butik saja! Kalau dibandingkan, Sarah lebih layak melamunkan hal seperti itu daripada dirinya. Tapi siapa tahu kan? Mimpi kemarin adalah kenyataan hari ini, mimpi hari ini adalah kenyataan hari esok.
Ya, bukankah yang terjadi pada dirinya sekarang adalah impian masa kecilnya? Hanan tersenyum. Senyuman sebagai izin bagi dirinya sendiri untuk terus bermimpi.
PRANG!!
Lamunan Hanan tersentak. Kepalanya otomatis mendongak melihat asal suara. Disana, diruang makan, Hanan melihat Sami berdiri dengan pecahan piring berserakan dikakinya. Sejenak pandangan mereka bertemu, sebelum akhirnya Hanan mengalihkan pandangannya ke layar laptop. Meski tentu saja, konsentrasinya tak seasyik tadi. Ia mencemaskan laki-laki itu. Piring keramik itu pecah berserakan disekitar kakinya, tidakkah pecahannya ada melukai kaki Sami? Hanan mendesah. Ia masih perempuan. Jiwanya masih tak menerima melihat seorang laki-laki pontang-panting menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Dan setelah sarapannya siap, makanan itu harus terjatuh berantakan bahkan sebelum dia menyentuhnya. Hanan tahu itu, karena Sami menjatuhkan piring sebelum ia membuka celemeknya. Itu berarti Sami baru selesai masak kan?
Hanan mendesah untuk kesekian kali. Ia mendengar suara-suara kaca saling berdenting. Hanan memastikan Sami sedang membersihkan pecahan itu meski ia sama sekali tak melihatnya. Hanan berjuang melawan dirinya sendiri untuk bergerak membantu Sami. Meski sekali lagi, ia merasa sangat kasihan. Sami baru memasak, setelah Hanan selesai membersihkan kamarnya, mencuci pakaiannya dan tentu saja sarapan dan membersihkan dirinya. Sekarang bahkan ia merasa, jemurannya hampir kering sempurna.
Ia tak mendengar suara apapun setelah itu. Hanan mencuri pandangan ke arah ruang tengah. Sami tak memasak lagi. Apa ia sedang berganti pakaian dan memutuskan untuk makan diluar? Seperti biasanya? Pandangan Hanan tiba-tiba menangkap sosok Sami yang membawa keranjang berisi penuh pakaian. Hanan meringis. Pasti Sami sudah menghabiskan baju selemari sampai cuciannya berjejalan seperti itu.
Hanan tak salah soal Sami menghabiskan baju selemari, karena memang itu yang dilakukan Sami. Ini kedua kalinya, setelah peristiwa menguras lemari yang pertama dulu. Bagi Sami, waktu berlalu terlalu cepat hingga ia kembali menguras isi lemari, sampai benar-benar tak ada yag bisa dipakainya. Dan sialnya, ia memang belum sarapan sesuai dugaan Hanan. Sial yang ketiga, ia melihat Hanan sudah bersantai sembari berjemur di teras kamarnya. Sial yang keempat, ia mengerjakan semuanya dibawah penglihatan Hanan! Sami memutar mesin cuci dengan sepenuh tenaganya. Mengingat kesialannya yang berpangkat empat, apalagi sialnya yang terakhir, benar-benar membuatnya marah!
Sami membuka tutup mesin yang selesai mencuci bajunya pada ronde kedua. Ronde pertama sudah ada di jemuran, dan ronde ketiga adalah tumpukan baju terakhir yang baru saja dibawanya dari kamar. Sami mengeluarkan baju setengah kering itu ke kerajang kosong dan membawanya ke jemuran.
Melihat Sami berbalik kearahnya hendak menjemur, Hanan mengalihkan pandangannya ke layar laptop lagi. Ia memindah-mindahkan cursor. Tapi tak jelas tujuannya apa. Ia membuka-buka file tapi tak jelas juga yang dicarinya apa, sebab setelah itu, ia tutup kembali arsipnya. Ia lalu membuka Youtube, tapi tak jelas juga apa yang ingin di tontonnya. Ia hanya ingin bergerak membantu Sami, tapi keinginannya untuk bertahan juga sangat kuat. Meski sekarang ini, ia meragukan kekuatan itu.
Sami berkacak pinggang memandang tali jemuran yang penuh sempurna. Benar-benar tak ada celah. Hanan memandangnya dengan ujung mata. Matahari pagi yang mulai meninggi menyinari wajah coklat milik Sami. Rambutnya berbulir-bulir tak teratur. Keringat membasahi pelipisnya. Hanan menahan senyum, apakah mencuci itu pekerjaan yang begitu berat bagi laki-laki. Padahal kan yang mencuci mesin, bukan dirinya!
Sami memandang deretan baju Hanan, lalu menghampirinya dan memegangnya. Pakaian Hanan sudah dijemur tiga jam yang lalu, melihat matahari bersinar sangat cerah bahkan cenderung panas, baju Hanan sepertinya sudah kering. Sami menarik beberapa baju Hanan yang memang telah kering. Roknya, kemeja, hingga baju tidur satin Hanan. Dada Sami berdesir, seiring desiran yang melanda juga didada Hanan. Sami mengangkat pakaiannya? Kenapa ia tak berteriak seperti biasanya?
“Hei! Angkat pakaianmu! Memangnya kau mau jemur sampai gosong!” Hanan ingat itu kata-kata Sami dua minggu yang lalu, saat mereka kebetulan mencuci bersamaan.
Hanan masih terbeliak memandang Sami yang berjalan kearahnya dan menyimpan beberapa pakaiannya diatas teras tak jauh dari tempat Hanan duduk. Sami sedang ‘sadar’ atau kelaparan? Ya, saking laparnya, orang tak akan punya tenaga untuk berteriak kan? Hanan mendengus, pasti sebab yang kedua. Jadi Hanan melanjutkan kegiatannya memelototi tak jelas layar laptop dihadapannya. Kali ini ia berhasil untuk tak melirik Sami.
Sami juga tak terlalu peduli dengan Hanan, setelah ia menggantung bajunya, ia mendekati meja setrika di teras diujung taman. Ia mulai menggosok celana panjangnya. Sebenarnya ia ingin berhenti. Ia lapar dan lelah. Tapi minimal satu saja yang ini, agar ia bisa keluar rumah untuk mencari makan. Sebab bukan Sami namanya kalau ia keluar dengan kaos oblong dan celana pendek selutut seperti yang tengah dipakainya sekarang.
Sami menggosok celananya lebih cepat, perutnya sudah tak bisa kompromi! Tapi gerakan cepat itu malah menimbulkan bencana. Tangan kiri yang bertugas memegang celana malah terseruduk setrika panas. Hasilnya Sami menjerit keras.
“AW!!”
Hanan tersentak dan melihat Sami. Sami tengah mengibas-ngibaskan tangannya sembari meniupnya kuat-kuat. Pasti kena setrika! Hanan bergegas turun dari terasnya dan mendekat ke arah Sami. Tanpa bicara, ia menarik tangan Sami dan melihat lukanya. Tapi belum juga melakukan hal itu, Sami berteriak lagi;
“Ah, Sial!”
Setrika yang Sami tinggalkan di atas celana telah sukses membolongi celana Sami. Asap mengepul dan serat kain yang leleh menempel di besi setrika seperti lelahan karamel. Sami mengangkatnya dengan marah.
Hanan mencabut kabelnya tenang. “Sudah biar aku yang selesaikan, sekarang obati lukamu,” Hanan memegang pergelangan tangan Sami dan menariknya masuk rumah.
“Duduklah,” Hanan menggiring Sami mendekati sofa. Setelah Sami duduk, Hanan mengambil kotak P3K di lemari dan duduk disamping Sami. Setelah mengambil salep luka bakar dari kotak itu, dengan telaten, tanpa melihat wajah Sami, Hanan mengulas luka itu sembari meniup-niupnya lembut, untuk mengurangi rasa panas yang Sami rasakan. Sami melihat wajah Hanan tak lepas sejak tadi. Entah disadari atau tidak, bibirnya menyunggingkan senyuman.
“Oh, Ya Tuhan, apa kakimu tak merasa perih?” Hanan melihat beberapa luka gores di kaki Sami. Satu luka mengeluarkan darah agak banyak. Tapi karena dibiarkan, darahnya mulai mengering. Hanan mengambil kain kassa dan mencuci luka Sami dengan boorwater sembari berjongkok.
“Sudah kuduga, pecahan piringnya pasti melukaimu. Apa kau tak merasa sa..?” Hanan mendongak mencari wajah Sami. Tapi kalimatnya tak selesai demi dilihatnya mata Sami terpaku menatapnya. Tatapan yang membuat Hanan merinding. Tatapan yang membuat Hanan ingat, kalau sekarang ia tengah melepas kerudungnya dan memakai kaos rumah bergambar forever fried yang hanya sepanjang lutut. Lubang lehernya yang lebar dan kainnya yang agak tipis membuat Hanan tiba-tiba merasa canggung. Ia lekas-lekas menyelesaikan tugasnya agar ia bisa berdiri secepatnya, tak terlihat Sami dari atas.
“Kau belum makan kan?” Hanan beranjak menyimpan kotak itu kembali ketempatnya, lalu berjalan melewati Sami menuju dapur.
“Mau kubuatkan sesuatu?” tanyanya menawari Sami. Tapi meski begitu, tangannya sudah bergerak juga membuka kulkas dan mengambil bawang, cabai dan satu misting udang.
“Bagaimana kalau nasi goreng? Kau mau?”
Tak ada jawaban, hanya sebuah suara langkah mendekat yang didengar Hanan. Ketika Hanan menoleh, Sami sedang mengambil pisau dari laci dan membantu Hanan mengupas bawang. Hanan tak melarang, dibiarkannya juga Sami mengirisnya, setelah memastikan tak berpengaruh pada luka bakar Sami.
“Oh!” Sami mengusap matanya yang berair.
“Haha, kau menangis!” Hanan tertawa. “Sudah duduklah, biar aku saja.” Sami menurut. Ia menyerahkan pisau pada Hanan, tapi ia bandel soal duduk. Ia berdiri didekat Hanan hingga Hanan selesai dan nasi gorengnya matang. Sesekali ia mengambilkan Hanan bumbu ini itu.
“Tak membuat untukmu sendiri?” tanya Sami setelah isi wajan telah ditumpahkan hanya pada satu piring. Hanan tersenyum. Ini kalimat Sami yang pertama sejak pagi ini. Tidak, tapi sejak pertengkaran yang menyebalkan itu. Kalimat pertama untuknya tanpa kemarahan dan penuh perhatian.
“Kau tahu aku sudah makan,” Hanan tersenyum. “Aku sudah kenyang. Duduklah, aku akan mengambilkanmu air.”
Kali ini Sami menurut sepenuhnya. Lalu setelah satu gelas air putih tersaji didepannya dan Hanan duduk tepat dihadapannya, hanya terhalang meja kecil tentu saja, Sami mengambil satu sendok nasi dan menyuapkannya perlahan. Sebenarnya, perlahan awalnya saja, karena tanpa Sami sadari, semakin lama, gerakan tangannya semakin cepat.
Hanan lagi-lagi tertawa, membuat Sami mendongak kearahnya. Menyadari Hanan menertawakannya, Sami berhenti menyuap.
“Maaf,” lirihnya.
“Tidak. Teruskan saja. Aku senang, apa masakanku begitu enak?” Hanan mengangkat alisnya dan sedikit membeliakkan matanya.
“Hm,” Sami mengangguk dengan mulut penuh. Wajahnya cerah.
Dalam sekejap, nasi itu sudah berpindah ke perut Sami.
“Perlu kubuatkan lagi? Kau masih lapar?”
Sami mengangkat tangannya, mengatakan cukup dengan isyarat sebab mulutnya tengah menenggak air putih sekali teguk. Setelah ia mengelap mulutnya dengan punggung tangan kanannya, Sami tersenyum pada Hanan. “Terimakasih,” katanya tulus.
Hanan hanya mengangguk. Tak perlu terimakasih sebetulnya, Sami memakan masakannya dengan lahap adalah tanda terimakasih yang cukup. Tapi ucapan kecil Sami itu ternyata membawa pengaruh lebih besar dari sekedar cukup.
Hanan membawa piring Sami dan mencucinya segera. “Istirahatlah,” pinta Hanan. Seperti tadi, tak ada jawaban. Sami hanya memandang keluar. Menatap taman, lalu beralih menatap langit. Hanan terdiam, apa yang dipikirkan Sami?
Setelah selesai dengan piring dan wajan, Hanan bergegas keluar mendekati meja setrika. Ia menyentuhkan jarinya cepat ke besi setrika. Setelah yakin tak panas, Hanan melepas kain celana Sami yang terbakar dan menempel di setrika. Karamelnya sudah mengeras sekarang, memudahkan Hanan untuk melepasnya. Setelah menyingkirkan celana yang sudah bolong itu, Hanan memulai pekerjaannya. Menyetrika pakaian Sami, menjemur, mencuci. Sekaligus. Tidak, dia tidak sendiri. Sami membantunya. Meski tanpa kata-kata, mereka bisa bersama-sama melakukannya. Sekali-kali Sami memandang Hanan sekilas. Dan Hanan berusaha setengah mati untuk tak menuruti keinginan menoleh pada Sami. Entahlah, ia tak tahu kenapa. Mungkin perdamaian yang terjadi setelah pertempuran panjang, membuat ia sedikit kaget. Apalagi perdamaian itu tanpa rencana gencatan senjata sebelumnya. Ya, perdamaian mereka terjadi begitu saja.
Menjelang sore pekerjaan mereka baru selesai. Hanan menselonjorkan kakinya diteras. Tubuhnya ia sandarkan ke pintu kaca. Sesekali tangannya memijit betisnya yang terasa pegal. Sami baru saja menyimpan kemeja terakhir ke lemari dikamarnya. Ia kembali dengan dua gelas syrup berwarna merah. Embun yang menetes dari luar gelas membuat sirup itu terlihat segar.
“Terimakasih,” Hanan menerima gelas yang disodorkan tangan kanan Sami. Sami lalu duduk disamping Hanan. Ia tidak duduk merapat, tapi mengambil beberapa jarak. Perdamaian yang baru saja terjadi tak bisa tiba-tiba membuat mereka akrab seketika. Bahkan Hanan belum terlalu yakin Sami masih bersikap sama padanya esok hari. Mengingat perubahan Sami yang selalu tiba-tiba.
Mereka saling terdiam, tak ada yang angkat bicara. Pandangan mereka sama memperhatikan taman hijau didepan mereka, juga riak air kolam renang yang terlihat menyegarkan. Pikiran mereka pun sama-sama mengembara.
Sebenarnya, Sami sangat ingin membicarakan tentang peraturan konyol yang Hanan lontarkan. Ia ingin membicarakan pembatalan. Tapi ia tak ingin merusak suasana. Membicarakan hal yang membuat kesal seperti itu bisa membuat seleranya hangus menghitam tiba-tiba.
“Terimakasih sudah mengerjakan tugasku,” Sami membuka percakapan.
Hanan mengangguk sambil meminum sirup satu teguk. Sebenarnya itu bukan tugas Sami, tapi tugasnya sebagai istri. Tapi Hanan tak ingin menjawab seperti itu. Ia masih merasa terlalu cepat, dan ia masih meragukan sikap Sami akan bertahan lama. Moodnya besok, atau bahkan sekarang juga, bisa berbubah tiba-tiba.
Tapi dugaan Hanan meleset. Mood Sami tak berubah hingga keesokan harinya. Sami masih mau makan sarapan paginya, juga mau mengantarnya ke butik. Mereka berkendaraan bersama. Meski seperti kemarin, belum ada percakapan-percakanan panjang. Hanya kata-kata pendek dan sekilas yang tampak tak punya arti bagi orang yang mendengar. Tapi bagi mereka, kata-kata singkat yang meluncur dari kedua bibir mereka adalah nyawa dan harapan bagi mereka untuk bertahan. Dan tentu, berkeinginan untuk bersama.
Kejutan Sami tak sampai disitu. Saat pulang, ia juga datang menjemput Hanan. Kali ini tak langsung naik seperti dulu, tapi menghubungi ponsel Hanan ketika ia masih berdiri disamping mobilnya, dilahan parkir.
“Pekerjaanmu sudah selesai?” Hanan tak menjawab. Perkerjaannya bisa selesai atau tidak terserah dirinya. Kalaupun ia masih ingin memeriksa pembukuan butiknya, ia bisa memeriksanya di rumah. Tapi apa makna jawabannya bagi Sami?
“Sudah,” akhirnya Hanan menjawab sembari berharap, memang itu jawaban yang diharapkan Sami.
“Bagus. Mau pulang bersamaku?” Sami bertanya ragu. Hanan tersenyum. Tapi mengingat Sami tak bisa melihat senyumnya Hanan menjawab ‘ya’.
“Aku akan menunggumu sambil bersiap,” Hanan menutup laptopnya.
“Ehm, sebenarnya..., aku sudah ada di halaman butikmu,” Sami tertawa malu.
“Oh?” Hanan berdiri dan bergegas mendekati jendela, disibaknya gorden untuk melihat keluar. Disana Sami berdiri dan menegadah menatapnya. Tangannya terangkat dan bibirnya tersenyum. Hanan membalas senyuman Sami kaku. Mengapa Sami tak naik?
“Baiklah, aku keluar segera,” Hanan menutup ponselnya dan tergesa memasukkan laptopnya yang masih hangat kedalam tas, lalu bergegas menuruni tangga.
“Dijemput Bapak ya, bu?” Rani, pegawainya dibagian kasir menyapanya sembari tersenyum. Hanan mengangguk cepat. “Kok nggak masuk?”
Ah, Rani, itu juga pertanyaan Hanan. Kenapa Sami tak masuk saja? “Buru-buru,” jawab Hanan sekenanya. “Duluan ya!” pamitnya pada semua pegawainya.
Sami sudah berdiri disamping pintu mobil dan membukanya begitu Hanan keluar butik.
“Maaf menunggu lama.”
“Tidak.”
Setelah menutup pintu, Sami berjalan berputar dan duduk didepan kemudi. Perlahan ia memutar setir dan melajukan mobil ke jalanan menuju rumah mereka.
“Apa tanganmu masih terasa sakit?” Hanan melihat tangan Sami diatas kemudi, warna lukanya menghitam. Hanan tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. “Bagaimana kalau ke dokter saja?”
“Hah, hanya luka kecil. Tak perlu. Sudah tak sakit,” Sami tersenyum sembari melihat Hanan sekilas, sebelum pandangannya kembali menatap jalanan.
“Benarkah?” Hanan masih melihat Sami khawatir.
“Aku senang kau mencemaskan aku,” Sami tertawa, membuat Hanan mengalihkan pandangan keluar jendela sembari tersenyum. Hanan membetulkan posisi duduknya lurus kedepan.
Sudah ada kemajuan, Sami tertawa. Hanan berharap, ini akan bertahan selamanya. Dan apa katanya? Dia senang Hanan mencemaskannya? Hati Hanan berpelangi tiba-tiba.
* * *
Sreeet.
Hanan membuka gorden kamarnya. Ia tak mau melewatkan sinar matahari pagi yang paling pertama.
“Hai,” seseorang menyapanya dari luar. Sami tentu saja. Hanan terkejut tentu saja. Ia melihat Sami dengan baju olah raga lengkap dengan sepatu. Hanan melihat jam dinding. Jan setengah enam? Sepagi ini dicuaca sedingin ini? Berolahraga ditempat sempit pula! Sami itu kenapa, biasanya juga ia tak kenal aktifitas yang satu itu.
Hanan membalas sapaan Sami hanya dengan senyum tipis. Dan setelah membuka lebar pintu gesernya, Hanan berbalik tanpa menoleh lagi pada Sami. Sami melihat Hanan sangat sibuk. Membereskan kamarnya, mandi, sepertinya, karena Hanan keluar dari kamar mandi dengan pakaian berangkatnya, bukan lagi kaos rumah yang dikenakannya saat masuk kamar mandi.
“Kau tak berniat kekantor hari ini?” tanya Hanan saat mengepang rambutnya. Sami tersentak. Tentu saja! Bagaimana mungkin ia tak kekantor! Sami panik dan bergegas naik kerumah. Hanan memandangnya dengan bingung. Sami itu kenapa? Seperti tak berniat pergi tapi tiba-tiba bersiap diwaktu-waktu terakhir. Selain itu, olah raga yang dilakukan Sami benar-benar aneh. Sejak ia membuka gordennya sampai barusan, Sami hanya menggerak-gerakkan tangannya kesamping, kedepan, keatas. Hanya itu. Tak ada gerakan lain. Sami sepertinya salah minum obat. Hanan menyimpulkan sembarang.
Keanehan Sami tak berhenti disitu. Suatu sore yang dingin, pulang dari kantornya, Sami tiba-tiba masuk kekolam renang hanya dengan celana pendek. Bukan celana pendeknya itu yang jadi masalah, (meski terus terang saja, saat Hanan menoleh, ia merasa malu) tapi apa Sami tak ingat, air kolam itu sudah lama tak diganti! Hanan merasa berat kalau harus membersihkan dan menggosok kolam. Meski ukurannya kecil tetap saja, ia hanya punya tenaga perempuan. Tapi Sami yang punya tenaga laki-laki, malah tak peduli.
Hanan meringis, Sami bisa gatal-gatal sedetik setelah ia keluar dari kolam. Dan benar saja, setelah kecipak-keciuk Sami yang cukup lama, hingga menjelang maghrib, itupun karena hujan turun lebat, Sami langsung sakit. Tapi untungnya bukan gatal, tapi flu dengan pilek yang berat.
Hanan sudah melihat gelagat itu sejak Sami masih dikolam. Bibir Sami sudah biru karena dingin. Ia menggigil. Dan parahnya lagi, ia tak membawa Handuk. Hanan akhirnya merelakan handuk besarnya dipakai Sami. Ia menyelimutkan handuk itu pada tubuh Sami yang berguncang karena dingin. Memang berguncang! Giginya saja sampai berbunyi saling beradu karena menggigilnya.
“Bodoh, kenapa berenang dicuaca begini?” tanya Hanan akhirnya merubah permasalahan air kolam yang kotor menjadi cuaca yang dingin.
Sami tak bisa menjawab. Tentu saja, giginya gemelutuk begitu. Tapi dalam hati Sami menjawab, ‘Kau ini bodoh atau apa? Aku bukan berenang, aku cuma cari perhatian!’
* * *
Sebelumnya; Bagian 3
Berikutnya ; Bagian 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar