3
Sami membuka lemari pakaiannya. Tiga buah kemeja
tergantung disana. Putih polos, biru
kotak, dan merah terang. Sami memegang satu persatu. Putih tak mungkin ia
pakai. Bukan ia tak suka warna putih, tapi pakaian ini pernah dipakai saat akad
nikah. Ia tak sudi memakainya. Biru kotak tak mungkin juga, warnanya sudah
memudar di bagian pundak. Sedikit sih, tapi tetap kelihatan. Kecuali ia tahan
memakai jas terus menerus dari datang hingga pulang saat cuaca Bandung sedang
panas-panasnya. Merah terang? Hei, siapa sih yang membeli baju warna norak
seperti itu?
Sami mendengus. Kemana baju-baju yang lain? Ia
berkacak pinggang berbalik membelakangi lemari dan matanya berkeliling. Mencari
belasan baju yang menghilang dari lemarinya. Matanya tertuju pada kotak cucian
diujung kamar. Tutup kotak itu sudah menganga, tak bisa menutup lagi
dikarenakan isinya yang terlalu berjejal melebihi kapasitas dirinya. Sami
membuang nafas. Apa sih kerjaan cewek sialan itu? Kenapa pula bajunya menumpuk
semua disitu?
“HANAN!” Sami bergegas keluar kamar, jalannya
menghentak kuat. Sami lupa, ia tak memakai pakaian kecuali sehelai handuk yang
menutup hingga lututnya.
Hanan sedang makan dengan tenang ketika ia
mendengar teriakan itu. Ketenangannya tak terusik sedikitpun kecuali setelah ia
melihat Sami yang bertelanjang dada. Tolol! Hanan mendengus. Tapi dadanya
berdetak tak karuan.
“Heh! Apa sih kerjamu?” Sami melihat sekilas
omelet yang menjadi santapan pagi Hanan. Perutnya lapar tiba-tiba.
“Banyak,” kata Hanan dengan tenang. “Tapi kerjaanmu
adalah marah. Tanpa alasan jelas.” Hanan membuka koran pagi yang baru ia baca
headlinenya sembari mengunyah makanan. Biasanya, Hanan benci makan sambil baca,
karena secara otomatis, kenikmatan makanan akan teralihkan dengan sebaris
berita hangat. Tapi untuk sekarang, ia butuh pengalihan. Sami terlalu berbahaya
untuk dilihat.
“Banyak? Apa banyak itu tak termasuk mencuci baju?
Apa nyuci terlalu repot bagimu?”
“Kenapa aku harus mencuci bajumu?”
“Tentu saja! Itu kerjaan perempuan kan?”
“Kenapa perempuan itu harus aku?”
Sami hampir membuka mulutnya, tapi kemudian
mengatup lagi. Ia jelas tak punya jawaban. Kenapa harus Hanan? Karena Hanan
adalah istrinya. Tapi jika ia menjawab seperti itu, sudah pasti akan jadi
bumerang buat dirinya. Memang ia suami bertanggung jawab sampai harus menuntut
istrinya melakukan sesuatu untuknya?
“Karena otot perempuan lemah, jadi ia mengerjakan
pekerjaan sepele seperti nyuci!”
Hanan memandang wajah Sami takjub. Berani sekali
dia berkata seperti itu. “Kalau begitu Tuan Sami, aku ingin tahu, apa laki-laki
yang punya otot kuat tak sanggup mengerjakan pekerjaan sepele seperti mencuci?”
“Kau pikir aku tak bisa? Kau menyepelekan aku ya?”
intonasi Sami semakin meninggi.
“Aku yakin kau bisa Tuan Sami, jadi kau akan
melakukan sendiri pekerjaan mudah itu. Benar kan?” Hanan tersenyum menang, Sami
mendengus kesal. “Satu lagi, pastikan dulu kau berpakaian sebelum keluar
kamar,” sambung Hanan menghentikan langkah Sami menuju kamarnya.
Sami berbalik dengan wajah marah berkali lipat
dari sebelumnya. Sebenarnya malu, karena ia sama sekali lupa. Jadi ia merasa
sangat kesal pada ‘lupa’-nya. Tapi ia tak mungkin marah pada diri sendiri kan?
“Kau tahu, Nona Hanan? Ini rumahku, aku bebas
mamakai apa saja yang aku inginkan,” Sami membungkukkan wajahnya dan berbisik tepat ke telinga Hanan yang
berbalut kerudung sutra. Wajah Sami yang terlalu dekat membuat Hanan berpaling
menjauh, tapi ia tak bisa menutup hidungnya dari aroma sabun tubuh Sami. Aroma
maskulin.
“Aku bahkan bebas untuk tak memakai baju
sekalipun. Kenapa? Kau tergoda?” kata Sami setelah ia melihat rona merah
menyebar tiba-tiba dipipi Hanan. Darimana datangnya rona merah itu ya? Kenapa
menyebarnya begitu sempurna? Pipi Hanan jadi kelihatan lebih manis dari manis
yang sebelumnya.
Sebelum pikirannya berlari lebih jauh, Sami
menjauhkan kepalanya dari Hanan dengan senyum. Ia lalu beranjak meninggalkan
Hanan yang terpaku sendirian.
Sami sialan!
* * *
Sami menjauhkan kotak sarapannya. Lalu dengan
pasti, ia menutupnya kembali. Omelet Hanan tadi kelihatan lebih enak.
Tak cukup sampai disitu, kotak makan siang juga ia
singkirkan begitu saja bahkan sebelum ia melihat apa isinya. Sami malah berlari
ke kantin untuk meredakan rasa lapar yang menguasai pencernaannya dan mengambil
alih pikirannya. Tujuannya satu. Ia mencari balado terong di kantin kantor.
Entah kenapa, tiba-tiba mulutnya ingin makan itu. Untungnya ada, dan Sami makan
dengan lahap. Tapi ditengah lahapnya ia masih sempat membayangkan balado terong
buatan Hanan yang pernah ia siapkan suatu malam. Balado terong yang tak pernah
disentuhnya itu bumbunya lebih banyak dan lebih merah dari yang tengah
dimakannya. Bayangan itu tiba-tiba merengguk lahapnya, berganti rasa kenyang
yang tiba-tiba. Hasilnya, setengah piring makanan ia tinggalkan sempurna.
Lalu kotak
makan malam? Sama saja. Sebab Sami hari ini keluar kantor sesudah ashar.
Rasanya ia ingin segera pulang...
* * *
Sebuah mobil sedan hitam yang berhenti tepat
didepan outletnya membuat Hanan terkejut. Ia kenal mobil itu. Sangat akrab malah.
Tapi kenapa? Apa mau orang itu? Sebelum Sami sempat keluar dari mobil, Hanan
sudah berbalik dan segera naik ke lantai dua, ke kantor pribadinya.
Hanan ingin berlari menghindar. Tapi mungkinkah?
Sementara langkah Sami yang menaiki tangga sudah demikian dekat. Akhirnya Hanan
berpura-pura duduk serius menekuri pekerjaannya dibalik meja besar. Hanan
mengambil pensil dan menggoreskan sesuatu diatas kertas. Tak ada ide yang
keluar tentu saja. Jadi ia memutuskan untuk mengulang design yang yang terakhir
ia selesaikan. Sebuah gaun warna maroon yang dipadu kerudung warna kuning.
Langkah Sami berhenti sesaat ketika matanya
menangkap sosok Hanan. Sangat berwibawa dan anggun. Inikah keseharian Hanan? Ia
kembali melanjutkan langkahnya mendekat.
“Ada sesuatu?” tanya Hanan tanpa menoleh. Sami
berdiri didepan Hanan dan mengamati apa yang dilakukan Hanan. Sangat cepat
tangan itu membentuk manusia, sangat lihai. Apa semua designer membuat gambar
secepat itu?
“Ada sesuatu yang bisa kubantu, Tuan Sami? Tidak
biasanya kau kemari.”
Sami tak menjawab. Ia malah berjalan menuju sofa
coklat muda di bawah jendela. Sami duduk menyamping sehingga memungkinkan
tubuhnya melihat pemandangan dari jendela besar dengan leluasa. Matanya
berkeliling memandang langit, beralih memandang jalanan dibawahnya. Pemandangan
pertokoan biasanya tak terlalu indah untuk di lihat. Tapi dilihat dari jendela
Hanan rasanya berbeda.
“Sami?” suara Hanan menarik kembali keasyikan
Sami, membuat ia menoleh pada Hanan sehingga kedua pasang mata mereka bertemu. “Ada
perlu apa? Jujur saja, aku cukup terkejut dengan kedatanganmu.”
“Selesaikan pekerjaanmu, aku akan mengajakmu
kesebuah tempat,” Sami membetulkan posisi tubuhnya hingga bersandar.
“Apa?” sekarang rasa terkejut Hanan melebihi rasa
terkejut karena kedatangan laki-laki ini. “Kau mau mengajakku kemana?”
“Ke sebuah tempat.”
Hanan meletakkan pensilnya lalu bersidekap dada
dan bersandar. Ia tersenyum tak percaya. “Kau? Mau mengajakku ke sebuah tempat?
Kau ini salah makan obat atau apa?”
“Apa saja, terserah.” Sami berdiri dan kembali
mendekat.
“Sepertinya kau sudah selesai,” Sami memegang
pergelangan tangan Hanan dan menariknya kasar.
“Hei!”
“Kau harus ikut.” Sami menyambar tas Hanan yang
tertidur begitu saja di atas meja.
“Kau benar-benar tak tahu cara bersikap pada
perempuan!” kata Hanan berbisik. Ia tak mau karyawannya tahu keanehan pasangan
pengantin baru ini. Tangan kirinya berusaha membuka jari-jari tangan Sami yang
mencengkeram pergelangan tangan kanannya. “Sakit!” Apa yang dilakukan Sami? Apa ia tak sadar kalau aku bisa jatuh karena
terus diseretnya bahkan saat menuruni tangga? Bagaimana pula jika
karyawannya melihat kejadian ini! Ia bisa malu seumur hidup! Kalau saja bisa, ia ingin memecat
dirinya sendiri sebagai pemilik butik ini. Tapi emang bisa?
“Oh, kau ingin diperlakukan seperti perempuan?
Baiklah!” kata sami juga dengan berbisik. Sami melepas cengkeramannya, tapi
secepat kilat sebelum Hanan bisa menghindar, tangan kekar itu beralih
mencengkeram bahunya. Hanan ingin berontak, tapi bisikan Sami ditelinganya
membuat ia terdiam. “Bersikap manislah, atau karyawanmu akan tahu apa yang
terjadi di antara kita!” entah bagaimana Sami melakukannya, tapi ia mengancam
Hanan dengan tersenyum. Membuat Hanan kesal setengah mati. Untuk beberapa saat,
Hanan harus bertahan berada dalam pelukan Sami. Sebenarnya, jauh dilubuk
hatinya, ia menikmati keadaan itu. Apa salah? Hanan ingat betul, ini adalah
rangkulan Sami yang pertama. Peduli amat ia melakukannya dengan hati atau
tidak, tapi Hanan ingin, Sami melakukan itu selama ia bisa...
“Tidak apa-apa bosnya saya culik ya?” kata Sami
tersenyum. Bukan hanya karyawannya yang menoleh dan tertawa, tapi pelanggannya
juga. Kedengarannya sangat tulus, dan terlihat sangat tulus juga Sami
membawakan tas Hanan dan merangkul bahunya. Lebih dari itu, Sami membukakan
pintu butik untuk Hanan, juga mempersilahkan Hanan masuk mobil setelah ia
membukakan pintu mobil untuk Hanan. Tapi setelah dari sini apa Sami akan
menghempaskannya? Jika benar begitu, alangkah lihainya Sami bersandiwara.
Sampai mobil melaju, tak ada yang bicara. Hanan
masih asyik merasakan debaran jantungya dari kehangatan dibahunya yang
ditinggalkan tangan Sami. Sementara Sami, entah apa yang dipikirkannya. Hanan
penasaran dan menoleh perlahan mencari wajah Sami. Di luar dugaan, Sami membisu
dengan wajah kesal. Atau lebih dari itu, marah? Hanan mendesah kecewa. Sami
benci telah merangkulnya seperti tadi.
Hanan memalingkan wajah keluar jendela disamping
kirinya. Kaca riben membuat keadaan lebih mendung dari cuaca sebenarnya. Dan
membuat perasaan Hanan lebih terluka dari yang seharusnya. Apakah Sami begitu
membenci dirinya sampai telah bersikap lembut pun ia menyesal? Hanan memutar
bola matanya keatas. Ia menahan air mata yang terlanjur menggenang agar jangan
tumpah dan meluncur tak tertahan.
* * *
Mulut Hanan asli menganga. Pemandangan didepannya
benar-benar membuat ia syok. Suatu tempat yang Sami katakan itu adalah
Supermarket! Hah! Yang benar saja? Kenapa Sami tak langsung bilang saja?
Daripada membuat imajinasinya membayangkan hal-hal lain karena kata misterius Sami. Seorang laki-laki
kalau mengatakan mengajak ke ‘suatu tempat’ biasanya akan mengajak ke tempat
yang romantis kan?
“Ayo cepat! Kau ingin aku menahan pintu ini sampai
kapan?” Sami berteriak kesal. Bodoh! Bukankah
seharusnya aku yang kesal? Hanan mendengus.
Ia menurunkan kakinya dari mobil dan menjejak
dengan enggan. Keengganan yang membuat lagi-lagi, Sami menarik lengan Hanan
dengan paksa. Hanan melangkah teseret oleh tenaga kuat Sami. Beberapa orang
yang berpapasan memandang mereka heran. Bahkan ada yang terang-terangan tertawa
atau memutar kepala melihat mereka berdua meski mereka sudah jauh didepan.
Hanan benar-benar malu. Ya Allah, beri aku izin untuk memukul kepalanya dengan
benda apapun yang kulihat sekarang... Hanan mengerang.
“Sami kumohon, langkahku pendek! Jangan
menyeretku...” Hanan memohon pelan.
Seolah baru tersadar, Sami berhenti tiba-tiba lalu
melangkah pelan. Seperti saat di butik tadi, Sami ganti merengkuh bahu Hanan.
“Sekarang berkelilinglah, beli barang apapun yang
kau perlukan.” Sami mengambil tangan Hanan dan menyimpannya di pegangan kereta
dorong. Ia lalu membimbing Hanan dan berjalan bersama. Kontras sekali dengan
tadi! Sembari berjalan, Hanan memandang Sami dari samping, mengamatinya
diam-diam dengan bingung. Sami itu sebenarnya yang mana? Yang kasar atau yang
lembut? Yang ketus atau yang tulus? Mana yang sandiwara mana yang sebenarnya?
Atau kedua hal itulah Sami yang sebenarnya?
Hanan menghembuskan nafas perlahan. Jika Sami tak
bersandiwara, maka ada dua kemungkinan. Pertama, Sami memiliki jiwa yang labil
hingga dalam sedetik bisa berubah bahagia dari sedih yang ia alami sedetik
lalu. Atau bersikap sangat lembut dari sikap kasarnya sedetik sebelumnya.
Kemungkinan kedua jika sami tak labil, maka Sami... gila! Hanan tersenyum.
Sepertinya kemungkinan kedua yang benar. Sami gila! Hanan mencibir diam-diam.
“Apa tak
ada barang yang habis di kamarmu?”tanya Sami kembali ketus setelah mereka
berkeliling beberapa kali.
“Tidak ada,” jawab Hanan enggan.
“Sabun?”
Mereka melewati lorong sabun mandi.
“Masih ada.”
“Shampo?”
Sekarang dilorong perawatan rambut.
“Untuk mengoles kulitmu?”
Hand body maksud Sami.
“Aku baru beli kemarin.”
“Untuk wajahmu?”
Sami melihat counter kosmetik dari kejauhan. Hanan
menghembuskan nafas dan berhenti melangkah. “Kau ini kenapa? Sebenarnya apa
yang kau inginkan?”
“Aku ingin kau belanja. Jadi lakukanlah!”
Hanan memejamkan mata menahan kesal. “Kau
menarikku kesini memaksaku meninggalkan pekerjaan untuk membelikanku sesuatu
yang sama sekali tak kubutuhkan?”
“Bekerja? Kukira kau hanya menyalin gambar, itu
bukan pekerjaan, tapi gak ada kerjaan.”
Kata-kata Sami yang tenang membuat pipi Hanan
memerah. Ya Tuhan, dia tahu? Sami memalingkan muka. Melihat pipi Hanan seperti
itu, selalu membuat telapak tangannya berkeringat. Tanpa bertanya lagi, kini
Sami mengambil botol-botol yang tulisannya pun tak ia baca. Tak peduli isinya
apa, Sami memasukkannya kedalam kereta dorong. Terserah Hanan mau pakai atau
tidak. Mau dijual lagi atau dibuang juga tak apa. Sami hanya ingin Hanan
belanja. Itu saja.
“Aku tak pakai merek ini,” Hanan mengambil sebuah
botol Hand body, lalu menyimpannya kembali di rak. Ia berjalan dua langkah,
lalu mengambil sebuah botol Hand Body berwarna biru. “Kau ingin aku belanja?
Baiklah...,” Hanan mengambil lagi botol pencuci wajah, penyegar, lalu
botol-botol yang lain. Sami mendorong kereta dan mengikuti Hanan dengan sebuah
senyum. Hanan tersentak, diputar lagi kepalanya untuk memastikan wajah Sami.
Memang tersenyum! Tiba-tiba dada Hanan terasa lapang. Seperti bukit-bukit
berbunga tersiram matahari pagi. Hanan tak bohong. Senyum Sami sangat cerah
seperti matahari pagi.
“Kau suka warna pink?” Sami menundukkan tubuhnya
memperhatikan sesuatu di susunan rak.
“Ya, tapi lebih suka warna tanah.”
“Warna tanah...” Sami memilih sesuatu serius.
Hanan menghampiri karena penasaran. Apa sih yang mau dibeli lelaki ini?
“Tapi Hanan, tak ada sikat gigi berwarna coklat...
atau abu-abu... warna tanah itu apa sih?”
“Warna tanah itu maksudnya warna natural...,”
Hanan berdiri dibelakang Sami sambil tersenyum. Ternyata sikat gigi...
“Warna pink juga bagus,” Hanan merebut sikat gigi
warna pink lembut yang tengah Sami genggam lalu menyimpannya ke kereta dorong.
“Kau tak mau memilihkan sikat gigi untukku?”
Hanan berbalik dan memandang takjub pada Sami,
sejurus kemudian ia tersenyum lebar. Sami banyak memberi kejutan padanya hari
ini...
* * *
“Kau masih megang uang?”
Keluar dari supermarket dengan bawaan tiga kresek
besar, mereka kini melaju menuju rumah.
“Kenapa?”
“Aku masih ingin membeli sesuatu.”
Sami masih memandang jalanan, tapi matanya
berbinar dan mulutnya tersenyum diam-diam. Ia teringat percakapan orang-orang
dikantornya yang tanpa sengaja ia tangkap saat ia melewati mereka.
“Istriku tiga jam!”
“Tiga jam? Istriku lebih dari itu. Bisa lima jam
dia bertahan. Kau tahu, aku sampai kering kerontang kayak tanaman kurang disiram!”
Tawa beberapa orang menyambut kalimat itu. Sami
yang kebetulan berdiri dimesin fotokopy, mau tak mau mendengar percakapan itu,
paling tidak, sampai mesinnya berhenti mengeluarkan kertas.
“Memangnya, apa sih yang mereka beli?” ini
pertanyaan seseorang yang Sami kenal. Dia Anto, karyawannya yang termuda, satu
bulan lagi ia menikah. Sami mengangkat alisnya. Oh, masalah belanja.
“Ya urusan kita juga sih. Masakan, buat dandan,
terus kepentingan anak-anak.”
“Tapi kadang tak beli sesuatu juga. Ya kan?”
“Ya, sih.”
“Hah? Tak beli sesuatu tapi keliling pasar?
Ngapain?” itu suara Anto lagi.
“Cuman ngebandingin harga. Cari yang paling
murah.”
“Bete banget. Kita yang cari uang mereka yang
ngabisin.”
Sami tersenyum. Hanan tak pernah memakai uangnya
satu rupiah pun. Jika orang lain, apakah orang itu akan menghabiskan uangnya
seperti para istri menghabiskan uang mereka?
“Nggak juga,” seseorang menjawab.
“Sebenarnya ada kenikmatan tertentu sih saat
mereka belanjain uang kita.”
“O ya? Kayak apa?”
“Ya..., semacam perasaan merasa dibutuhkan.”
“Kalau aku, senang aja lihat anak istri kita
tersenyum karena jerih payah kita. Senang bisa ngebahagiakan mereka.”
“Susah sih ya ngejelasin sama orang yang belum nikah. Pokoknya,
perasaan senang itu baru dirasakan kalau kamu udah ngalamin. Percaya deh!”
Mesin fotokopi berhenti. Sedikit membungkuk Sami
mengambil kertas hasil fotokopi dan membuka bagian atas mesin untuk mengambil
kertas aslinya. Waktu istirahat sebentar lagi habis. Saatnya karyawan itu
kembali bekerja. Tapi Sami masuk keruangannya masih dengan percakapan tadi.
Rasa senang dan bahagia saat uang kita bisa dipakai istri? Ia sudah menikah,
tapi ia belum merasakannya. Apakah ia yang tolol atau Hanan yang terlalu... tak
berhitung mungkin?
Sami mengangkat bahunya. Bagaimana pun, ia ingin
mencoba merasakan perasaan bahagia semacam itu.
“Uangmu habis ya?” tanya Hanan membuyarkan lamunan
Sami.
“Masih ada, memangnya kau mau beli apa?”
“Beberapa baju.”
Sami menoleh. Baju? Hanan kan punya butik?
“Aku cuma ingin punya baju dari hasil keringatmu.
Itu saja.”
Sami mencari tempat parkir dan memutar stir saat
menemui tempat kosong.
“Tunggu saja, aku sebentar.” Hanan membuka pintu
mobil. “Mau kubelikan makanan?”
Sami menggeleng. “Kita sudah beli banyak makanan,
kita makan dirumah.”
Setengah berlari Hanan menuju toko tujuannya.
Setengah ragu, ia mengambil beberapa helai pakaian berwarna lembut sebagaimana
yang disukainya. Tapi kali ini, Hanan memilih pakaian yang sangat ‘bukan
dirinya’.
Belanja kilat ala Hanan berhenti di kasir dengan bingung.
Ia lupa bawa uang!
“Katanya mau pakai uangku?” Sami tiba-tiba ada
dibelakangnya? Tangannya lalu terulur menyerahkan uang sesuai nominal yang
terpampang dikomputer milik kasir. Setelah transaksi selesai, kasir itu
menyerahkan satu kresek baju yang Hanan beli dan Hanan merebutnya. Sikap Hanan
membuat kening Sami berkerut. Hanan tersenyum misterius. Tapi pipinya kembali
bersemu merah dan tangannya menyembunyikan kresek dibelakang tubuhnya. Apa sih
yang dibeli gadis ini?
Bagian 1 dan 2 nya mana???
BalasHapus