Ijab kabulnya berjalan sangat lancar. Sami
berjabat tangan dengan wali hakim dari Hanan. Pesta diadakan hari itu juga.
Tamu yang datang jumlahnya mencapai ribuan. Tentu saja, keluarga Sami memiliki
banyak relasi, belum lagi tamu-tamu dhuafa yang sengaja diundang keluarga Sami
untuk menambah keberkahan. Dhuafa yang selalu rutin mereka santuni setiap
bulan.
Pipi Hanan rasanya sudah pegal terus tersenyum
mengaminkan do’a para tamu. Ia hampir tak duduk karena kedatangan tamu yang
tiada henti. Lalu ketika mereka berkesempatan duduk, Hanan memberanikan diri
menggenggam tangan Sami. Hanan tertawa dalam hati. Seharusnya, pengantin
laki-laki yang melakukan itu kan? Tapi biarlah, mereka tak harus sama dengan
pengantin lainnya.
Tangan Sami hangat, tak seperti tangannya yang dingin
beku. Apakah Sami tidak tegang seperti dirinya? Hanan melihat wajah Sami, ia
tersenyum seperti biasanya. Tak ada ketegangan sama sekali. Tapi Sami tak
menepis tangannya, itu sudah cukup.
Sejak kepulangannya dari rumah Sami hingga saat
kemarin, Hanan banyak berpikir. Berpikir tentang masa depannya yang belum
tentu, berpikir tentang keputusan yang mungkin masih bisa berubah. Ya,
mengingat sikap Sami yang tak terlalu peduli, juga kata-kata ketusnya,
berkali-kali Hanan berpikir untuk mundur. Tapi jika mengingat balas budi itu,
pikiran untuk mundur ia buang jauh-jauh. Lalu Hanan juga teringat akan rumah
itu. Rumah yang sengaja Sami buat untuk dirinya. Sami begadang dua malam untuk
menyelesaikan semua itu. Bukankah itu tanda, bahwa setidaknya Sami memperhatikan
dirinya? Ya, Sami memperhatikan dirinya, dengan caranya sendiri.
“Apa kau lelah?” Hanan berbisik di telinga Sami.
“Tidak,” kata Sami tegas. Hanan menunggu kata-kata
berikutnya. Bukankah seharusnya setelah kata itu akan ada kata berikutnya?
‘Tidak, kau? Apa kau lelah?’ seharusnya begitu
kan? Tapi Sami tak mengatakan apa-apa lagi. Hanan melihat wajah Sami dari
samping. Alangkah tenangnya wajah itu. Ketenangan itu membuat Hanan tersenyum.
Kening Hanan berkerut. Wajah Sami tiba-tiba
berubah. Tidak, bukan wajahnya, tapi sorot matanya. Sorot mata tenangnya
menjadi panik seketika. Dan pandangannya terpaku pada sesuatu. Hanan mengikuti
pandangan itu.
Jauh disana, diantara para tamu yang hadir, Hanan
melihat sosok itu. Perempuan cantik berwajah campuran berambut coklat. Dia juga
sedang memandang terpaku pada Sami. Mereka saling berpandangan tanpa menyadari
sekeliling mereka. Mereka asyik tertarik pada dunia mereka sendiri di tengah
banyaknya orang mengelilingi mereka. Mereka diam berdua di dunia sepi mereka sendiri
di tengah bisingnya suara musik dan suara senda gurau orang-orang. Hanan
terhenyak, tangan Sami yang tengah ia genggam berubah dingin. Ia jelas
merasakannya meski tangannya terbungkus sarung tipis.
Inikah
riak dihatimu itu Sami?
* * *
Hanan membuka peniti yang menyemat kerudungnya
perlahan. Setelah selesai, ia membuka ikatan rambutnya dan menyisirnya
perlahan. Hanan tersenyum pahit. Kalau di sinetron, pengantin laki-laki akan
membuka kerudung wanitanya perlahan saat mereka berhadapan. Pengantin laki-laki
juga yang akan membuka ikatan dan mengurai rambut pengantin wanita. Tapi
kenyataannya, ini bukan sinetron. Ini adalah kehidupannya dengan seorang suami
bernama Sami. Sami yang dingin dan kaku. Jadi mana tahu dia sikap yang
seharusnya dari pengantin laki-laki!
Jangankan saling berpandangan malu, Hanan malah
duduk dihadapan cermin sendirian, dan Sami berdiri mematung di pintu (atau
jendela?) menatap ke taman. Sarah salah. Inilah kamarnya, bukan yang disisi
kiri.
Hanan memandang lagi dirinya, mengamati
garis-garis wajahnya. Lalu ia teringat akan perempuan berambut coklat itu. Jika
ia boleh sedikit memuji dirinya, kecantikan dirinya tak kalah oleh kecantikan
perempuan itu. Perempuan itu memiliki kecantikan khas timur tengah, sebangsa
dengan keluarga Sami yang keturunan Persia. Sementara dirinya memiliki
kecantikan pribumi berpadu dengan kecantkan Eropa. Ya, kecantikan Eropa.
Hidungnya mancung, matanya biru, kontras dengan kulitnya yang bersih dan
rambutnya yang hitam. Kecantikan yang dihargai sangat tinggi yang dulu
membuatnya harus terus berlari dan menghindar. Jadi Sami sangat keterlaluan
kalau menyia-nyiakan dirinya.
Baiklah, jika Sami yang tak ingin memulai, maka
dia yang akan memulai.
Hanan menyimpan sisir diatas meja riasnya. Lalu ia
berjalan mendekati Sami. Hanan bersandar pada sisi jendela mengikuti cara Sami
bersandar. Mereka kini berhadapan.
“Sami?”
Sami tak menoleh, tapi Hanan tahu Sami
mendengarnya.
“Boleh aku tahu apa yang kau pikirkan?”
“Aku tak memikirkan apa pun,” Sami menghindar.
“Kau tahu Sami, sejak Ibuku meninggal dulu, aku
hidup sendirian. Aku tak punya teman bicara, tak punya teman tertawa, apalagi
teman berbagi tangisan. Aku menanggung semuanya sendiri.” Hanan diam sesaat
menanti reaksi Sami. Tak ada. Tapi Hanan kembali melanjutkan, Sami tidak pergi,
itu artinya, dia mau mendengarkan.
“Aku selalu bermimpi untuk memiliki seseorang.
Siapapun dia, asal dia mau mendengarkanku, dan aku bisa mendengar dia. Apa
menurutmu, keinginanku ini terlalu muluk?”
Sami memandang Hanan. Mata biru gadis ini terlihat
sangat bening. Cahaya rembulan membuat mata itu terlihat begitu indah. Tapi wajah Huda telah memaku pandanganku...
“Boleh aku meminta sesuatu darimu, Sami?”
“Apa?” tanya Sami ketus seperti biasa. “Apa kau
minta aku menyentuhmu?”
Hanan merasa tertusuk. Ia tak berpenampilan
seronok. Pakaian tidurnya berbentuk gaun lebar berbahan katun. Bukan kain
pendek berbahan satin tipis. Apa dimata Sami, membuka kerudung dihadapan suami
begitu seronok? Hanan ingin menangis, tapi ia tak ingin berhenti mencoba.
“Bolehkah aku menjadi temanmu?” Hanan mengacungkan
kelingkingnya kearah Sami. “Mau berdamai denganku Tuan Sami?”
Sami menatap wajah dan kelingking Hanan
bergantian. Ia belum memutuskan.
“Ayolah! Kita akan hidup serumah, lho! Memangnya
kau tak akan kesal terus bermusuhan denganku? Jika hubungan kita tidak baik,
tak akan ada orang yang memasak untukmu, juga tak akan ada orang yang mencuci
dan menyetrika pakaianmu. Benar kan?” Hanan membujuk seperti ia membujuk anak
kecil. Tapi anak yang ini, ia tak suka permen.
Senyum yang mengembang dibibir Hanan layu
perlahan-lahan. Melihat tak ada reaksi dari Sami, Hanan menarik kembali
tangannya. Masygul ia sekarang.
“Apa kau ingin, malam ini aku tidur di sofa?”
Hanan memandang bayangan purnama didalam kolam.
“Tidak. Kau akan tidur disini, Hanan.” Sambil
berkata seperti itu, Sami meninggalkan Hanan keluar kamar. Dari tempatnya
berdiri, Hanan memperhatikan Sami berjalan melewati ruangan tengah, lalu masuk
kedalam kamarnya. Ya, kamar Sami. Ternyata untuk itulah Sami membuat dua kamar.
Karena mereka akan tidur terpisah...
* * *
Hanan terus berpikir positif. Ia meyakinkan
dirinya, kalau Sami akan berubah. Sikap Sami padanya akan menghangat. Entah
kapan, tapi waktunya pasti datang. Ia hanya butuh bersabar.
Hanan melihat jam dinding. Pukul sepuluh malam,
dan tanda-tanda Sami akan datang belum kelihatan. Hanan melihat makanan yang
terhidang dihadapannya, tak ada lagi uap seperti tiga jam yang lalu. Pastinya
makanan itu sudah dingin.
Apakah sekarang Sami pun tak makan di rumah?
Hanan berdiri dan mengambil tudung saji.
Seharusnya ia makan saja sekarang, tak perlu lagi menunggu Sami. Tapi selain
karena tak lapar, Hanan masih berharap Sami membuka tudung saji ini. Hanya
membukanya saja, itu pun tak apa...
* * *
Sami bergegas keluar dari mobilnya dan menaiki
tangga memasuki kantornya.
“Pagi sekali Pak Sami?” seorang Satpam di pintu
depan menyambutnya. Sami menjawabnya dengan senyum ramah.
“Ya, banyak hal yang harus dikerjakan.”
“Pastinya,” kata satpam itu mengantar kepergian
Sami yang tergesa. Sami mendesah pelan. Sebenarnya bukan hanya pekerjaan, tapi
ada alasan khusus mengapa ia harus datang pagi-pagi sekali. Ia harus bertemu
dengan seseorang yang menyelinap ke dalam ruangannya pagi-pagi sekali. Ia sudah
tahu siapa orang itu, tapi ia hanya ingin bertemu dan melihat wajahnya sekilas
saja.
Tepat di belokan, ia melihat sosok itu. Sosok yang
baru saja keluar dari ruangannya. Itu pasti dia!
Mendengar langkah mendekat, orang itu menoleh dan
tersentak. “Sami?”
“Huda?” Sami terpana. Ia menghentikan langkahnya
tepat dihadapan Huda. “Sudah kuduga...”
“Aku hanya...,” Huda mencari alasan, tapi ia tak
segera menemukan.
“Terimakasih,” kata Sami menghentikan Huda. Huda
memandang Sami heran. Sami tak marah? Ia bahkan tersenyum? Huda merasa sangat
lega. Ia beranjak dari sana setelah mengatakan permisi pada Sami.
Setelah Huda tak terlihat, Sami memasuki
ruangannya dengan sumringah. Perutnya terasa lapar tiba-tiba, maka dihampirinya
meja dengan tergesa-gesa. Tanpa membuka mantel dan jasnya, Sami lekas duduk dan
memandangi sebuah benda yang setiap pagi selalu tersedia disana. Sekotak
sarapan, lengkap dengan satu gelas jus jeruk hangat. Sami mengambil sendok dan
membuka tutup kotak perlahan. Nasi gorengnya kelihatan sangat enak. Jika
sekarang nasi goreng, menu makan siang nanti apa? Apakah rendang yang pedas
seperti kemarin siang? Atau ikan seperti kemarin malam?
Seperti siang dan malam? Ah ya, Sami mendapati
kotak itu bukan hanya saat sarapan, tapi juga saat makan siang dan malam hari
sebelum ia pulang. Dan hati Sami selalu menanti-nanti kedatangan kotak itu.
Sebenarnya bukan kotaknya, tapi seseorang yang membawa kotak itu. Huda...
Sementara Huda menekur di meja kerjanya. Ia
menikmati senyum Sami yang baru saja didapatkannya. Entahlah, setelah Sami
menikah, ia begitu takut bertemu laki-laki itu. Takut, jika Sami tak lagi
memberikan senyum untuk dirinya. Tapi ketakutannya sama sekali tak terbukti.
Ternyata Sami masih memberikan senyum untuknya! Huda benar-benar merasa lega.
Jadi karena Sami sama sekali tak marah ia
memberinya makan, maka ia akan melanjutkan rutinitas itu sampai Sami yang
memintanya berhenti. Tapi bagaimana dengan istri Sami? Senyum Huda tiba-tiba
menguncup. Tidakkah ia bersalah pada wanita itu? Huda meremas tangannya sendiri.
Tapi ia begitu ingin mendapat senyum itu. Tak apa kan? Ia hanya meminta
sedikit, dari bagian wanita itu yang mendapat senyum Sami setiap saat? Maka
Huda mendapat pembenaran. Rasa bahagia mendapatkan kenyataan bahwa Sami
memperhatikannya telah menutup rasa bersalahnya. Maka berlangsunglah kebiasaan
itu terus menerus. Entah sampai kapan.
* * *
Hari minggu. Sami tak mungkin pergi. Maka
pagi-pagi sekali, Hanan menyiapkan sarapan untuknya. Nasi goreng kecap dengan
dadar telur. Ibu bilang, itu sarapan kesukaan Sami.
“Sami?” Hanan mengetuk pintu kamar Sami yang
tertutup. “Sarapan sudah kusiapkan.” Tak ada jawaban dari dalam.
“Sami?” Hanan mengetuk lagi. Kali ini dijawab
dengan dengusan kesal.
“Aku tak lapar!”
Hanan mendesah. Apakah Sami tak pernah lapar
sepanjang hidupnya? Setiap hari selama sebulan ini, Sami belum pernah terlihat
makan. Memangnya dia roh halus yang tak butuh makan? Apa aku harus masak darah
biar dia mau makan? Hanan mulai merasa kesal.
Dilihatnya dua piring nasi yang tersaji manis
dimeja makan. Hanan memandanginya seperti ia memandang dua pasang makhluk
paling menyebalkan di dunia.
Sementara Hanan sibuk dengan kekesalan yang mulai
menggunung dihatinya, Sami sedang tepekur dikamarnya. Mempertanyakan sikap
Hanan. Kemana dia? Bukankah biasanya dia akan terus mengetuk kamar tanpa rasa
bosan? Ia baru akan berhenti ketika Sami keluar rumah dan pergi bekerja. Ia
akan dengan sabar meminta Sami menyentuh makanan. Tapi sekarang kemana dia?
Hati Hanan diliputi rasa kesal, sementara hati
Sami diliputi rasa penasaran. Sami membuka pintunya perlahan-lahan, berusaha
tak mengeluarkan suara sedikit pun. Diantara celah yang ia buat, Sami melihat
Hanan duduk mematung dimeja makan. Matanya berkaca. Lalu tanpa diduga, Hanan
berdiri dan mengambil dua piring nasi goreng itu dan... membuangnya!
Sami kaget. Ini reaksi yang tak diduganya sama
sekali. Bukankah selama ini Hanan bersabar menghadapi dirinya? Tak digubris,
dimarahi, bahkan dianggap tak ada, Hanan selalu bersikap seperti seorang istri
layaknya. Tapi sekarang? Apakah batas kesabarannya telah habis? Sebersit rasa
bersalah melintas dihati Sami. Aku pasti sudah berlebihan.
Brak!
Hanan membanting pintu kamarnya. Sami benar-benar
syok. Setelah sepi yang lama, Sami baru benar-benar keluar kamarnya dan
menghampiri tempat sampah. Disana teronggok sedih dua piring nasi goreng. Sami
tak mengada-ada, Hanan memang membuangnya bersama piringnya sekaligus! Sami
mengerjap. Kelihatannya gadis itu benar-benar marah. Ia mengambil dua piring
itu lalu mencucinya. Ditempatnya berdiri, ia memperhatikan dapur sekeliling.
Pisau dan talenan bekas mengiris bumbu, wajan bekas memasak, mangkuk bekas
mengocok telur. Beberapa saat sebelum nasi goreng itu matang, Hanan pasti
tengah sibuk disini. Sementara ia tak menyentuh hasil kerepotan gadis itu sama
sekali! Dan ironisnya, Sami malah memakan masakan orang lain yang sebenarnya
tak punya kewajiban memasak untuknya! Parahnya lagi, ia baru sadar, bahwa ia
telah melakukan itu selama lebih dari satu bulan! Sami mendesah berat. Sekarang
rasa bersalah itu bukan lagi sebersit, tapi melebar luas memenuhi rongga
dadanya.
Salah apa gadis itu hingga Sami memperlakukannya
sedemikian rupa? Tapi Ya Tuhan, aku tak mencintai gadis itu! Sami mencari
alasan. Alasan yang langsung mendapat bantahan dari sisi hatinya yang lain.
Perlukah sebuah cinta untuk memberi kebaikan pada orang lain?
Sami berjalan lemah menuju sofa. Ia lalu terduduk
disana. Memikirkan banyak hal. Menunggu Hanan keluar. Paling tidak, ia mungkin perlu
meminta maaf, dan berkata baik-baik, kalau Hanan tak perlu repot-repot memasak
untuknya. Hhh telat, seharusnya Sami memikirkan itu sejak sehari pernikahan
mereka.
Hanan duduk memeluk lutut. Sudah hampir beberapa
hari ini selera makan Hanan hilang sama sekali. Perut yang kosong sudah bosan
mengeluarkan bunyi, mereka lelah berdemo. Entah kapan tuntutan mereka untuk
mendapat jatah makan bisa Hanan penuhi. Ia terlalu sibuk berpikir. Tentang
sikap Sami sebulan ini, tentang kesabarannya menghadapi Sami.
Jika dipikir, ia seperti orang gila bila ada
dihadapan Sami. Bertanya, tak pernah dijawab. Membuat kelakar, tak pernah
mengundang tawa. Menyentuh, selalu ditepis. Ngobrol selalu sendiri. Nah,
apalagi disebutnya seseorang yang bersikap seperti itu kalau bukan gila? Hanan
tertawa pahit. Kesabarannya sudah habis. Benar-benar habis. Ia balas budi hanya
kepada Ibu. Bukan pada makhluk itu (maksudnya Sami). Jadi, ia hanya punya
kewajiban berbuat baik pada wanita itu, dan kebaikan itu tak berlaku pada Sami.
Memangnya siapa dia yang berhak menerima kebaikanku begini rupa?
Tapi bukankah biduk rumah tangga yang sudah
terlanjur terbangun harus ia pelihara? Sisi hatinya bersuara. Tapi kemudian
Hanan ingat kata-kata Sami, walau bagaimana pun ia tak mencintai Hanan, laki-laki
itu tak akan pernah menceraikan Hanan. Jadi jika laki-laki itu kuat bertahan,
ia akan tetap jadi istri Sami. Tapi jika laki-laki itu tak berhasil
mempertahankan rumah tangga mereka, kesalahan bukan ada padanya. Mukanya di
depan Ibu tak tercoreng sedikit pun. Hanan tersenyum. Ia sudah membuat
keputusan.
Berpikir dan membulatkan tekad untuk menjadi
dirinya sendiri mulai saat ini ternyata butuh waktu lama bagi Hanan. Ia baru
keluar kamar selepas dhuhur. Hanan merutuk dirinya sendiri. Sial. Kenapa ia
membutuhkan waktu selama itu untuk berpikir, sementara Sami bahkan tak perlu
berpikir untuk memperlakukannya seperti ini.
Hanan agak tersentak ketika mendapati Sami tengah duduk di
sofa ketika ia keluar kamar. Tumben ia ada dirumah dan duduk disofa memandangi
tivi yang tak hidup sama sekali. Pandangan mereka sempat bertemu, tapi sekilas
saja. Hanan dapat mengendalikan keterkejutannya dengan cepat. Tanpa menoleh
lagi, ia berjalan santai menuju dapur. Keterkejutan kedua ia dapatkan di pantry
ini. Barang-barang kotor yang ia tinggalkan tadi, kini sudah bersih. Hanan
memandang Sami dari belakang. Konsep rumah yang tanpa sekat memungkinkan Hanan
melihat Sami dimanapun, kecuali di kamarnya. Diakah yang mencuci dan
membereskan semuanya? Hanan kaget tentu saja. Tapi sebentar saja, sebab
kemudian ia mengangkat bahu tak mau tahu. Dia yang mencuci atau bukan peduli
amat. Kalau hantunya sekali pun yang mencuci karena hantunya Sami merasa iba
padanya, Hanan tak peduli. Nah, hantunya Sami saja memungkinkan merasa iba
padanya, kenapa ia tak iba pada dirinya sendiri? Hanan semakin bulat untuk
mulai bersikap.
Hanan membuka kulkas dan meneliti isinya. Hah! Tak
ada yang bisa dimasak selain telur! Sekarang, saat ia mau makan, tak ada yang
bisa di makan. Kemarin-kemarin, ia masak segala macam setiap hari, ianya yang
tak mau makan. Hanan mendesah. Sepertinya nanti sore ia harus belanja lagi.
Hanan mengambil satu telur dan satu buah tomat. Tapi baru saja ia menutup
kembali kulkas, gerakannya berhenti seperti kehabisan baterai tiba-tiba. Hah?
Belanja? Ngapain juga? Kenapa ia harus repot-repot membuka dompetnya untuk
sesuatu yang seharusnya bukan kewajibannya? Hanan menepuk kepalanya. Tolol
sekali sih? Selama sebulan ini ia menghabiskan uangnya untuk hal yang sangat
sia-sia!
Setelah mengorak-arik telur seadanya, Hanan
mengambil nasi dan makan dengan lahap. Berapa hari ya ia tak bertemu nasi?
Tanpa Hanan sadari Sami menoleh padanya.
“Kau masak apa?” tanya Sami berusaha lembut. Tapi
usahanya gagal total, karena intonasi yang ia hasilkan terdengar ketus. Hanan
menghentikan suapannya. Tapi cuma sebentar. Selanjutnya, ia meneruskan makan.
Sami mendekat dan duduk diseberang Hanan. Ia
melihat piring Hanan. Kuning dan putih warna telur, merah warna tomat, dan
hijau warna cabe rawit membuat air liur Sami hampir menetes. Ia juga belum
makan dari pagi, karena nasi goreng yang seharusnya sudah dicerna dengan baik,
kini malah jadi penghuni tempat sampah.
“Kau tak membuatkan makan untukku?” Sami bicara
dengan intonasi yang sama. Membuat kemarahan Hanan yang belum menemukan muara
hampir meledak sekarang. Tapi ia bertahan. Bertahan hingga suapannya
benar-benar tandas. Setelah itu ia akan masuk kamar dan tak perlu makhluk
menyebalkan ini lagi. Lagipula kenapa minta makan? Kemarin-kemarin kemana dia?
Melihat Hanan tak mempedulikannya, Sami mulai
bicara lagi. Nadanya lebih ketus dari dua kalimatnya yang pertama. “Hei? Kamu
tuli ya?” setelah mengatakan itu Sami merutuki dirinya sendiri. Seharusnya
bukan seperti itu. Seharusnya ia mengatakan maaf terlebih dahulu. Maaf. Apa
susahnya? Tapi memang susah Sami rasakan. Lidahnya benar-benar kelu. Kata maaf
itu tak bisa keluar meski ia hanya berupa desahan.
Hanan melihat Sami sekilas. Ia baru mengacuhkan
Sami tak lebih dari satu jam, tapi reaksinya sudah seperti ini. Apa Sami tak
sadar kalau dia sudah mengacuhkan Hanan lebih dari satu bulan?
“Apa?” tanya Hanan cuek.
“Apa kau tak membuatkan makanan untukku?”
“Heh, kenapa aku harus membuatkan makan untukmu?”
Hanan menyelesaikan suapannya. Ia lalu meneguk air putih tiga kali tegukan.
“Aku belum makan sejak pagi.”
“Lalu?”
Hanan mengambil piring dan gelas lalu mencucinya.
Tak sekalipun ia menoleh pada Sami.
“Lalu? Tentu saja aku lapar! Sekarang buatkan
makanan untukku!” kini Sami bicara dengan kesal.
“Oh, Tuan Sami mau makan? Kenapa tak memasak
sendiri? Atau keluar cari makan seperti biasanya?” Hanan selesai mencuci piring
dan mematikan keran air.
“Apa?”
“Kenapa? Malas? Oh ya. Aku baru ingat ada
makanan!” Hanan tersenyum sembari berjalan menuju kamarnya. Lalu pada saat ia
didekat Sami, ia condongkan badannya sehingga kepalanya berdekatan dengan
kepala Sami, ia bisikkan sesuatu tepat ketelinga Sami, “di tempat sampah!”
Dan melihat Sami menatapnya dengan mata murka ia
tersenyum menang. Entah kapan terakhir ia tak merasa sesenang ini.
Cewek sialan! Padahal aku tadi hendak mengibarkan
bendera damai, dia malah kembali mengajak perang! Tolol! Apa dia pikir bisa
menaklukkan aku dengan cara seperti ini? Geraham Sami berderak-derak.
Dan, dimulailah perang itu...