"Rindui aku Za..., sebab setelah ini, aku hanya akan hidup dalam kenanganmu..." kau usap air matamu dengan ujung kerudung sutramu.
* * *
Gerimis datang lagi. Tahu tidak Kaa, aku mengingatmu lagi. Tentang masa lalu yang riuh. Tentang sepi juga. Tentang kita.
Kau ingat, di sini, dulu kau tertawa manis dengan mata segaris, berbisik kalau kau sangat menyukai gerimis.
“Gerimis selalu memberiku banyak inspirasi,” desahmu waktu itu.
Lalu kau berlari kesisi taman, mengambil alat tulismu, lalu kembali duduk ditempat yang tadi kau duduki, menulis dibawah gerimis.
“Tolol, kamu bisa sakit tahu?” aku mengambil notes lecekmu. Lecek karena terlalu sering kamu jatuhi gerimis.
Lalu mata riangmu menatapku. “Tak akan sakit, aku sudah terbiasa…,” tawamu.
“Terbiasa apanya, tak ada yang biasa dengan penyakit!”
“Gerimis itu temanku, Za. Dia tak akan membuatku sakit. Percaya deh sama aku…”
Aku marah, melempar notes kehadapanmu. Dan kau tersenyum, meneruskan keasyikanmu.
Sebenarnya, aku tak ingin mengusikmu waktu itu Kaa, tapi aku terlalu cemburu dengan keasyikanmu. Kau bukan milikku saat ber-uzlah)* seperti itu.
Beberapa anak yang sejak tadi bermain bola, satu-satu mulai berlari pulang.rupanya senja telah datang.
Aku berdiri dan beranjak dari kursi yang kududuki. Juga kursi yang biasa kau duduki dulu. Aku berdiri, ditempat dulu kau selalu berdiri. Sekarang aku dijatuhi tetes gerimis beribu-ribu. Sebagaimana kau dulu.
Mungkin aku mulai gila ya, Kaa? Aku tak tahu. Aku hanya berusaha menyelami perasaanmu. Dan sekarang aku memang merasakannya. Ada kelezatan disini, Kaa. Seperti inikah juga kelezatan yang kau rasakan dulu?
Kepalaku mulai menengadah, menutup mata, dan mulai kurasakan lembutnya sentuhan gerimis. Duhai... Kaa, aku seperti merasakan belaianmu.
Ha..ha.. belaianmu? Memang kapan kau membelaiku? Pernahkah? Tidak bukan?
Hujan mulai kerap dan melebat. Dulu, kau akan menepi jika hujan mulai seperti ini. Dan aku yang selalu menunggu disisi, kegirangan setengah hati. Setengah hati karena lalu kau bilang, "Aku juga suka lebat, tapi saat lebat, kertasku akan basah!" Lalu kau menulis disisiku. Disisiku, ya, tepat disisiku. Tapi kau tahu Kaa, kau begitu jauh.
Aku masih disini, menerima tamparan-tamparan hujan. Aku buka mataku, menantang. Dan kulihat kau tersenyum dan melambai.
Kau datang Kaa? Kau datangkah?
Lalu sayap bidadarimu mengepak, tersenyum dan berlari menghilang.
KAA...
)* uzlah : meyendiri, mengasingkan diri.
Sabtu, 29 Oktober 2011
Kamis, 20 Oktober 2011
terima kasih...
setelah tahu saya sangat menyukai kabut, seorang teman memberi saya foto ini. foto yang ia ambil sendiri. bukan hanya satu, tapi beberapa foto kabut. ini bukan yang terindah, tapi ini yang paling dalam saya rasakan.
ya... ok...
semua foto tentang kabut maknanya dalam...
dan karena sebab itulah saya suka kabut. bukan hanya foto, saya suka kabut betulan. menembusnya di tengah pagi tanpa baju hangat adalah sensasi tersendiri.
foto ini, menambah koleksi foto kabut saya.
well... terimakasih sahabat...
maaf ya, harus berlari tanpa permisi...
kuharap, suatu saat, kau bisa menemukanku disini...
gamang tenang
dalam bimbang, hati adalah cahaya. menyeruak dalam jiwa
jadi biarkan saja rasa ini terus berkuasa...
dalam diam, sepi
aku bisa jadi diri sendiri...
jadi biarkan saja rasa ini terus berkuasa...
dalam diam, sepi
aku bisa jadi diri sendiri...
Jumat, 14 Oktober 2011
meretas tujuan
pada titik ini, aku mulai berpikir kembali. tentang segala yang telah kulakukan. dan tiba pada tujuan, untuk mengabaikan semuanya... meski sedetik setelah hilang, mungkin aku merindukannya kembali. tak kupungkiri.
namun perasaan yang telah terbetik ini, tak akan mungkin hilang. meski berbilang masa, berbilang musim. jalan yang telah kuretas tak akan hilang sempurna. semua akan tersisa, tergambar, terpatri... jauh di dalam jiwa...
jika pun mungkin, suatu saat, aku akan kembali.
kembali pada kerinduan yang mungkin tak akan habis.
yang akan jadi lintasan ingatan ketika pikiranku diam...
yang jadi merangkai jadi untaian do'a...
semoga kalian semua bahagia...
namun perasaan yang telah terbetik ini, tak akan mungkin hilang. meski berbilang masa, berbilang musim. jalan yang telah kuretas tak akan hilang sempurna. semua akan tersisa, tergambar, terpatri... jauh di dalam jiwa...
jika pun mungkin, suatu saat, aku akan kembali.
kembali pada kerinduan yang mungkin tak akan habis.
yang akan jadi lintasan ingatan ketika pikiranku diam...
yang jadi merangkai jadi untaian do'a...
semoga kalian semua bahagia...
Rabu, 05 Oktober 2011
Kamis, 08 September 2011
takbiran aneh
Silahkan sebut aku gila, atau mungkin orang yang tak biasa. Aku aneh, atau semacamnya. Tapi aku merasa aku benar.
Malam takbiran, berjalan seperti malam takbiran tahun-tahun sebelumnya. Ramai, petasan, kembang api, bedug, dan ratusan, bahkan mungkin ribuan orang. Biasa, kata orang. Memang begini kok. Tapi, sekali lagi, silahkan sebut aku aneh atau gila sekalian. Aku baru melihatnya hari ini. Baru sekali ini aku berdiri di trotoar dan menyaksian semuanya dengan mata kepalakku sendiri. Sepanjang hidup, aku baru menyaksikannya sekarang, diusiaku yang melebihi batas tiga puluh satu tepat. Sekarang, kau tertawa dan menyebutku aneh. Tapi keanehanku, mungkin tak berhenti sampai situ. Baca saja selanjutnya...
Aku tercengang, asli. Ya, meski tidak dengan mata melotot dan mulut mangap juga sih. Tapi toh, aku tetap kaget. Aku, seperti orang kampung (padahal aku orang bandung lho!) yang baru datang kekota (di garut) dan dengan wajah ‘amazing’ merasa tersentak sekaligus merasa terganggu. Terganggu?
Kawan, sebagaimana yang mungkin telah kau tahu, sementara aku baru tahu, mereka, anak-anak muda itu berdiri berdesakan di atas mobil colt dolak sambil berjoget ala dangdut tapi mendendangkan takbir dengan lapaz yang kurang benar. Yang lain menabuh bedug besar, yang lain menyulut petasan. Dan, orang-orang dipinggir jalan menyaksikan semua itu dengan hati yang riang. Kecuali mungkin aku, yang sekali lagi, terlalu syok untuk bereaksi.
Sekalian kalian tertawa pangkat dua. Oh my... nisa baru melek soal itu? Ya. Aku ibu-ibu yang baru melek dunia...
Oh, tuhan... rasanya aku satu-satunya orang normal yang hidup di kolong dunia ini...
Maksudku, ya ampun... ngapain coba mereka melakukan semua itu? Takbiran? Sambil joged dan nyulut petasan? Tertawa-tawa teu puguh kayak orang mabok (yang ini aku benar-benar mencurigainya), ngabisin duit cuman buat dibakar jadi suara menggelegar atau cahaya kembang api menyilaukan.... buat apa? Tak ada manfaatnya sama sekali. Kecuali kemacetan yang meraja. Itu takbir kemenangan karena berhasil mengekang nafsu, atau takbir kemenangan karena syetan laknatullah kembali merdeka tanpa borgol?
Jika melihat perilaku takbiran yang seperti itu, tanpa ragu aku mehjawab... pernyataan nomor kedua yang benar. Vonisku terlalu kejam? Mungkin. Tapi aku yakin aku benar. Soalnya... oh ayolah... kalau mereka memang takbir sebenar-benar, kenapa tak dimasjid saja coba? Ramaikan tuh masjid, kata kang aher juga. Bukan dijalanan. Please deh!
Oh, ya. Informasi yang tak kalah membuatku melongo, (kali in i kayaknya benar-benar sambil mangap deh!) mereka bakalan ‘tawaf’ sampe subuh! Lalu tidur sampe pagi, tanpa shalat subuh apalagi salat sunat ied! Benar kan? Cuman aku yang normal?
Malam takbiran, berjalan seperti malam takbiran tahun-tahun sebelumnya. Ramai, petasan, kembang api, bedug, dan ratusan, bahkan mungkin ribuan orang. Biasa, kata orang. Memang begini kok. Tapi, sekali lagi, silahkan sebut aku aneh atau gila sekalian. Aku baru melihatnya hari ini. Baru sekali ini aku berdiri di trotoar dan menyaksian semuanya dengan mata kepalakku sendiri. Sepanjang hidup, aku baru menyaksikannya sekarang, diusiaku yang melebihi batas tiga puluh satu tepat. Sekarang, kau tertawa dan menyebutku aneh. Tapi keanehanku, mungkin tak berhenti sampai situ. Baca saja selanjutnya...
Aku tercengang, asli. Ya, meski tidak dengan mata melotot dan mulut mangap juga sih. Tapi toh, aku tetap kaget. Aku, seperti orang kampung (padahal aku orang bandung lho!) yang baru datang kekota (di garut) dan dengan wajah ‘amazing’ merasa tersentak sekaligus merasa terganggu. Terganggu?
Kawan, sebagaimana yang mungkin telah kau tahu, sementara aku baru tahu, mereka, anak-anak muda itu berdiri berdesakan di atas mobil colt dolak sambil berjoget ala dangdut tapi mendendangkan takbir dengan lapaz yang kurang benar. Yang lain menabuh bedug besar, yang lain menyulut petasan. Dan, orang-orang dipinggir jalan menyaksikan semua itu dengan hati yang riang. Kecuali mungkin aku, yang sekali lagi, terlalu syok untuk bereaksi.
Sekalian kalian tertawa pangkat dua. Oh my... nisa baru melek soal itu? Ya. Aku ibu-ibu yang baru melek dunia...
Oh, tuhan... rasanya aku satu-satunya orang normal yang hidup di kolong dunia ini...
Maksudku, ya ampun... ngapain coba mereka melakukan semua itu? Takbiran? Sambil joged dan nyulut petasan? Tertawa-tawa teu puguh kayak orang mabok (yang ini aku benar-benar mencurigainya), ngabisin duit cuman buat dibakar jadi suara menggelegar atau cahaya kembang api menyilaukan.... buat apa? Tak ada manfaatnya sama sekali. Kecuali kemacetan yang meraja. Itu takbir kemenangan karena berhasil mengekang nafsu, atau takbir kemenangan karena syetan laknatullah kembali merdeka tanpa borgol?
Jika melihat perilaku takbiran yang seperti itu, tanpa ragu aku mehjawab... pernyataan nomor kedua yang benar. Vonisku terlalu kejam? Mungkin. Tapi aku yakin aku benar. Soalnya... oh ayolah... kalau mereka memang takbir sebenar-benar, kenapa tak dimasjid saja coba? Ramaikan tuh masjid, kata kang aher juga. Bukan dijalanan. Please deh!
Oh, ya. Informasi yang tak kalah membuatku melongo, (kali in i kayaknya benar-benar sambil mangap deh!) mereka bakalan ‘tawaf’ sampe subuh! Lalu tidur sampe pagi, tanpa shalat subuh apalagi salat sunat ied! Benar kan? Cuman aku yang normal?
Kamis, 21 Juli 2011
Kembara rindu, palsu
Telah lelahkah Kau menantiku?
“Tidak,” Sahut-MU
Bosankah Kau dengan palsuku?
Diam.
“Bukankah kesturi itu wangi,
Dan api itu membakar?”
Aku menangis,
Tapi lalu terbang,
Tak terkendali…
“Tidak,” Sahut-MU
Bosankah Kau dengan palsuku?
Diam.
“Bukankah kesturi itu wangi,
Dan api itu membakar?”
Aku menangis,
Tapi lalu terbang,
Tak terkendali…
Resah Tumpah
Angin...!
Sampaikan galau ini ke tiap lekukan bumi
Bawa resah ini ke pelosok awan putih
Tiupkan gamang ini ke tengah badai menari
Sebab aku,
Telah lelah menunggunya sendiri..
Sampaikan galau ini ke tiap lekukan bumi
Bawa resah ini ke pelosok awan putih
Tiupkan gamang ini ke tengah badai menari
Sebab aku,
Telah lelah menunggunya sendiri..
Memahami Laki-laki
Terbentur,
menjauh, memaksa, melesat.
Terbentur lagi
kaki ini terpental
sakit
tapi aku tertawa
tak bisa menyatu
tapi jika bersama, tetap bisa kan?
menjauh, memaksa, melesat.
Terbentur lagi
kaki ini terpental
sakit
tapi aku tertawa
tak bisa menyatu
tapi jika bersama, tetap bisa kan?
Seperti
Seperti
Pecahan kaca tak berbentuk
Hancur, terpecah-pecah, kecil-kecil
Sedemikiankah,
Cinta membuatku begitu kerdil?
Tak berdaya diantara selaksa rasa
Tak merasa diantara ribuan suka
Aku hanya merasa
Tak sanggup.
Memikul beban ini sendirian
Meski percuma menumpah semua kobar
Pada ombak yang pendar bergencar-gencar
Tapi
Aku tak punya waktu untuk menangis
Cuma punya untuk berdiri
Dan selangkah
Menatap masa
Yang menanti didepan.
Pecahan kaca tak berbentuk
Hancur, terpecah-pecah, kecil-kecil
Sedemikiankah,
Cinta membuatku begitu kerdil?
Tak berdaya diantara selaksa rasa
Tak merasa diantara ribuan suka
Aku hanya merasa
Tak sanggup.
Memikul beban ini sendirian
Meski percuma menumpah semua kobar
Pada ombak yang pendar bergencar-gencar
Tapi
Aku tak punya waktu untuk menangis
Cuma punya untuk berdiri
Dan selangkah
Menatap masa
Yang menanti didepan.
Tak Berjudul
Tertawa
Tapi aku sunyi...
Tapi aku sunyi...
Tertinggal
Aku tak punya waktu
Semua hilang
Tak berbekas
Terbang, bebas, melesat
Meninggalkan sekeping cinta,
Mati.
Semua hilang
Tak berbekas
Terbang, bebas, melesat
Meninggalkan sekeping cinta,
Mati.
Tentang Kaa
"Rindui aku Za..., sebab setelah ini, aku hanya akan hidup dalam kenanganmu..." kau usap air matamu dengan ujung kerudung sutramu.
* * *
Gerimis datang lagi. Tahu tidak Kaa, aku mengingatmu lagi. Tentang masa lalu yang riuh. Tentang sepi juga. Tentang kita.
Kau ingat, di sini, dulu kau tertawa manis dengan mata segaris, berbisik kalau kau sangat menyukai gerimis.
“Gerimis selalu memberiku banyak inspirasi,” desahmu waktu itu.
Lalu kau berlari kesisi taman, mengambil alat tulismu, lalu kembali duduk ditempat yang tadi kau duduki, menulis dibawah gerimis.
“Tolol, kamu bisa sakit tahu?” aku mengambil notes lecekmu. Lecek karena terlalu sering kamu jatuhi gerimis.
Lalu mata riangmu menatapku. “Tak akan sakit, aku sudah terbiasa…,” tawamu.
“Terbiasa apanya, tak ada yang biasa dengan penyakit!”
“Gerimis itu temanku, Za. Dia tak akan membuatku sakit. Percaya deh sama aku…”
Aku marah, melempar notes kehadapanmu. Dan kau tersenyum, meneruskan keasyikanmu.
Sebenarnya, aku tak ingin mengusikmu waktu itu Kaa, tapi aku terlalu cemburu dengan keasyikanmu. Kau bukan milikku saat ber-uzlah)* seperti itu.
Beberapa anak yang sejak tadi bermain bola, satu-satu mulai berlari pulang.rupanya senja telah datang.
Aku berdiri dan beranjak dari kursi yang kududuki. Juga kursi yang biasa kau duduki dulu. Aku berdiri, ditempat dulu kau selalu berdiri. Sekarang aku dijatuhi tetes gerimis beribu-ribu. Sebagaimana kau dulu.
Mungkin aku mulai gila ya, Kaa? Aku tak tahu. Aku hanya berusaha menyelami perasaanmu. Dan sekarang aku memang merasakannya. Ada kelezatan disini, Kaa. Seperti inikah juga kelezatan yang kau rasakan dulu?
Kepalaku mulai menengadah, menutup mata, dan mulai kurasakan lembutnya sentuhan gerimis. Duhai... Kaa, aku seperti merasakan belaianmu.
Ha..ha.. belaianmu? Memang kapan kau membelaiku? Pernahkah? Tidak bukan?
Hujan mulai kerap dan melebat. Dulu, kau akan menepi jika hujan mulai seperti ini. Dan aku yang selalu menunggu disisi, kegirangan setengah hati. Setengah hati karena lalu kau bilang, "Aku juga suka lebat, tapi saat lebat, kertasku akan basah!" Lalu kau menulis disisiku. Disisiku, ya, tepat disisiku. Tapi kau tahu Kaa, kau begitu jauh.
Aku masih disini, menerima tamparan-tamparan hujan. Aku buka mataku, menantang. Dan kulihat kau tersenyum dan melambai.
Kau datang Kaa? Kau datangkah?
Lalu sayap bidadarimu mengepak, tersenyum dan berlari menghilang.
KAA...
)* uzlah : meyendiri, mengasingkan diri.
* * *
Gerimis datang lagi. Tahu tidak Kaa, aku mengingatmu lagi. Tentang masa lalu yang riuh. Tentang sepi juga. Tentang kita.
Kau ingat, di sini, dulu kau tertawa manis dengan mata segaris, berbisik kalau kau sangat menyukai gerimis.
“Gerimis selalu memberiku banyak inspirasi,” desahmu waktu itu.
Lalu kau berlari kesisi taman, mengambil alat tulismu, lalu kembali duduk ditempat yang tadi kau duduki, menulis dibawah gerimis.
“Tolol, kamu bisa sakit tahu?” aku mengambil notes lecekmu. Lecek karena terlalu sering kamu jatuhi gerimis.
Lalu mata riangmu menatapku. “Tak akan sakit, aku sudah terbiasa…,” tawamu.
“Terbiasa apanya, tak ada yang biasa dengan penyakit!”
“Gerimis itu temanku, Za. Dia tak akan membuatku sakit. Percaya deh sama aku…”
Aku marah, melempar notes kehadapanmu. Dan kau tersenyum, meneruskan keasyikanmu.
Sebenarnya, aku tak ingin mengusikmu waktu itu Kaa, tapi aku terlalu cemburu dengan keasyikanmu. Kau bukan milikku saat ber-uzlah)* seperti itu.
Beberapa anak yang sejak tadi bermain bola, satu-satu mulai berlari pulang.rupanya senja telah datang.
Aku berdiri dan beranjak dari kursi yang kududuki. Juga kursi yang biasa kau duduki dulu. Aku berdiri, ditempat dulu kau selalu berdiri. Sekarang aku dijatuhi tetes gerimis beribu-ribu. Sebagaimana kau dulu.
Mungkin aku mulai gila ya, Kaa? Aku tak tahu. Aku hanya berusaha menyelami perasaanmu. Dan sekarang aku memang merasakannya. Ada kelezatan disini, Kaa. Seperti inikah juga kelezatan yang kau rasakan dulu?
Kepalaku mulai menengadah, menutup mata, dan mulai kurasakan lembutnya sentuhan gerimis. Duhai... Kaa, aku seperti merasakan belaianmu.
Ha..ha.. belaianmu? Memang kapan kau membelaiku? Pernahkah? Tidak bukan?
Hujan mulai kerap dan melebat. Dulu, kau akan menepi jika hujan mulai seperti ini. Dan aku yang selalu menunggu disisi, kegirangan setengah hati. Setengah hati karena lalu kau bilang, "Aku juga suka lebat, tapi saat lebat, kertasku akan basah!" Lalu kau menulis disisiku. Disisiku, ya, tepat disisiku. Tapi kau tahu Kaa, kau begitu jauh.
Aku masih disini, menerima tamparan-tamparan hujan. Aku buka mataku, menantang. Dan kulihat kau tersenyum dan melambai.
Kau datang Kaa? Kau datangkah?
Lalu sayap bidadarimu mengepak, tersenyum dan berlari menghilang.
KAA...
)* uzlah : meyendiri, mengasingkan diri.
Rabu, 20 Juli 2011
merdeka dari perbudakan mood!
Tangan terus bergerak. Tak bisa berhenti. seolah berlomba saling menyusul antara tiap huruf dengan imaji yang semakin melesat tak terkendali. lebih seringnya, imaji yang menang. jarang-jarang tangan berhenti kecuali hanya untuk istirahat sejenak menghela nafas. saat semua berlangsung seperti itu, segalanya selesai dengan cepat. tak perlu menunggu lama, tak perlu bolak balik ke dapur hanya untuk minum segelas air, bahkan rasa kantuk kalah oleh nafsu imaji yang berambisi menyelesaikan sendiri.
sooo fun!
tapi...
ceritanya lain kalau mata melotot tak fokus, tangan berhenti diudara tanpa mengetik apapun, dan air teh di cangkir lagi lagi habis, entah untuk keberapa kali. saat itu, desahan demi desahan terus menguap dari pernafasan.
dan itu, saangat menyebalkan!
pernah mengalami juga?
saat sangat ingin menulis, tapi tak ada imaji yang mau menyembul. ibaratnya, kita sedang sangat lapar dan haus, tapi tak ada seuatu pun yang bisa dimakan dan diminum! rasanya pengen nangis dan teriak!
nah, kalau keadaan seperti ini, enaknya tutup laptop, lalu baca. atau tidur deh sekalian, apalagi kalau dah larut malam.
tapi ada nih satu tips dari Faudzil Adhim, entah saya lupa baca di buku beliau yang mana. benar-benar tak ingat!
beliau adalah tipe penulis yang menulis tanpa diperbudak mood. huh? how can? bisa kok, buktinya beliau sendiri. gak percaya, boleh tanya langsung ke orangnya, tapi jangan tanya alamatnya sama aku ya! apalagi minta ongkos. hehe...
apa yang beliau raih sekarang (bebas dari perbudakan moo), ternyata tak diraih dengan mudah, melainkah dengan proses latihan yang lumayan rerpot. yup, latihannya cuma satu jenis sih, tapi ya gitu deh...
beliau selalu berlatih untuk menulis justru saat sedang tak memiliki mood sama sekali, dan berlatih untuk menahan imaji saat mood benar-benar di puncak!
susah!
awalnya iya, kata beliau. tapi mudah kalau kita MEMAKSAKAN DIRI! hasilnya...
KITA BISA MERDEKA DARI BUDAK MOOD!
tapi masalahnya adalah....
aku sendiri belum pernah berhasil! heheheheheh....
karena memang tak pernah berusaha sih.....
sooo fun!
tapi...
ceritanya lain kalau mata melotot tak fokus, tangan berhenti diudara tanpa mengetik apapun, dan air teh di cangkir lagi lagi habis, entah untuk keberapa kali. saat itu, desahan demi desahan terus menguap dari pernafasan.
dan itu, saangat menyebalkan!
pernah mengalami juga?
saat sangat ingin menulis, tapi tak ada imaji yang mau menyembul. ibaratnya, kita sedang sangat lapar dan haus, tapi tak ada seuatu pun yang bisa dimakan dan diminum! rasanya pengen nangis dan teriak!
nah, kalau keadaan seperti ini, enaknya tutup laptop, lalu baca. atau tidur deh sekalian, apalagi kalau dah larut malam.
tapi ada nih satu tips dari Faudzil Adhim, entah saya lupa baca di buku beliau yang mana. benar-benar tak ingat!
beliau adalah tipe penulis yang menulis tanpa diperbudak mood. huh? how can? bisa kok, buktinya beliau sendiri. gak percaya, boleh tanya langsung ke orangnya, tapi jangan tanya alamatnya sama aku ya! apalagi minta ongkos. hehe...
apa yang beliau raih sekarang (bebas dari perbudakan moo), ternyata tak diraih dengan mudah, melainkah dengan proses latihan yang lumayan rerpot. yup, latihannya cuma satu jenis sih, tapi ya gitu deh...
beliau selalu berlatih untuk menulis justru saat sedang tak memiliki mood sama sekali, dan berlatih untuk menahan imaji saat mood benar-benar di puncak!
susah!
awalnya iya, kata beliau. tapi mudah kalau kita MEMAKSAKAN DIRI! hasilnya...
KITA BISA MERDEKA DARI BUDAK MOOD!
tapi masalahnya adalah....
aku sendiri belum pernah berhasil! heheheheheh....
karena memang tak pernah berusaha sih.....
Langganan:
Postingan (Atom)