Buku ini saya cari-cari sejak puluhan tahun yang lalu. Lebay?
Nggak! Saya serius!
Saya masih ingat betul, waktu mempelajari sejarah zaman SMP
baheula. Buku ini dibahas sekilas dan dipuji. Betapa isinya membuka kejahatan
sistematis penjajahan Belanda di Indonesia. Membuka mata rakyat Belanda nun
jauh disana, menyadarkan mereka betapa bangsa mereka kejam pada bangsa lain.
Buku ini, menjadi sangat fenomenal pada masanya. Membuat buku
ini dicekal peredarannya, dan pada akhirnya membuat kerajaan Belanda
memperlunak penjajahannya dan melakukan penebusan dosa dengan mendirikan
sekolah untuk kaum pribumi Indonesia.
Berita sejarah yang singkat namun terasa luar biasa itu
membuat rasa penasaran saya menyembul. Pertanyaan yang timbul adalah; ‘iya
gitu?’, ‘seorang utusan menjelekkan bangsanya sendiri?’, ‘kejelekan dan
kejahatan macam apa yang ia beberkan?’, dan ya... pertanyaan-pertanyaan remaja
macam begitu lah! Pertanyaan yang membuat saya penasaran setengah mati, tapi
tak membuat rasa penasaran itu sekarat. Keinginan menggenggam dan membaca Max
Havelar tetap membara dalam relung hati saya (halakh!).
Hingga singkat cerita, setelah tepatnya 23 tahun berikutnya,
saya melihat buku ini bertengger manis di rak buku adik saya, saat saya
menyempatkan diri berkunjung ke rumah orangtua. Akhirnya saya dapatkan! Ini bukan
mimpi kan? Saya meyakinkan diri saya dengan menyentuh dan membukanya (saya
waras ya, jadi saya nggak perlu nyubit pipi saya sendiri), lalu tanpa menunggu,
langsung memasukkan buku itu ke tas saya dan membawanya pulang!
(Ini bukan pencurian, saya cuma lupa bilang. Atau pencurian?
Ah sudahlah, bukan itu yang ingin dibahas, toh suatu saat kalau saya menemukan
buku yang bisa saya beli, akan saya kembalikan buku yang ini... hehe)
Saya selesaikan membacanya dalam dua hari. Ok, mungkin
terlalu lama memang, tapi jujur saja, alur dan bahasa zaman dulu membuat saya
sedikit merasa bosan membacanya. Jujur saja saya agak kecewa. Bukan karena alur
dan bahasanya itu, tapi rasa fenomenal dan rasa luar biasa ternyata tak saya
dapatkan dalam buku ini.
Tak seperti gembar-gembor buku sejarah dulu, ternyata saya
tak mendapatkan kejahatan Belanda yang sangat sadis atau apa, sebaliknya saya
malah mendapatkan kejahatan mereka hanya ‘biasa-biasa’ saja. Tak ada kekejaman
macam Hitler (tentu saja!), apalagi dibandingkan kejahatan perang sebuah negara
bernama Israel. Wah, terlalu jauh untuk dibandingkan.
Kejahatannya ‘cuma’, mereka menduduki bangsa lain. Itu saja.
Saya bukan menyepelekan sebuah kejahatan besar bernama
penjajahan ya, saya hanya sedang membandingkannya dengan gambaran kekejaman
Belanda yang saya tangkap dari buku sejarah zaman dulu.
Siapa yang salah? Apakah Douwes Dekker yang membahasakan
kekejaman itu dengan bahasa yang terlalu lunak? Atau sejarah kita yang terlalu
membesar-besarkan kekejaman penjajahan Belanda? Ataukah justru imajinasi saya
yang terlalu hiperbola?
Ah, sudahlah, apapun itu, bahasan saya tentang buku ini akan
terus berlanjut, sebagai pembuktian, bahwa apa yang saya katakan benar.
Belanda tak terlalu kejam. Tak sesadis Hitler, tak
seberingas Israel.
Itupun jika—yang diberitakan Max Havelaar pada kita—adalah
kebenaran...