Selasa, 20 Oktober 2015

Nulis Lagi, Nulis Terus!

Ini tentang ide yang tak berhenti mengalir. Ceritanya berawal dari keputusan besar itu. Keputusan untuk mengundurkan diri dari dunia perdagangan, dunia ngisi pelatiha, dunia bikin pesanan makanan, dan lain lagi banyaknya. Hehe...

Dunia saya sekarang penuh dengan huruf-hurur tulisan orang yang saya baca, dan barisan huruf yang saya tulis. Hasilnya? Saya sudah menyelesaikan 3 novel dengan masing-masing 250 halaman. Novel terakhir, saya selesaikan dalam satu bulan! Bagi saya sih, ini prestasi besar!

Hasil lain setelah saya fokus adalah, saya mendapatkan kesenangan itu. Kesenangan seperti… apa ya, terisinya kekosongan. Ya, saya merasa jiwa saya penuh. Saya merasa bermanfaat, juga merasa hidup. Karena rasa seperti itu, membuat saya merasakan juga bagaimana saya bisa lupa waktu, lupa makan, lupa duduk saat berdiri, lupa berdiri saat duduk, ketika saya menulis. (Saya menulis di tablet soalnya, jadi bisa sambil berdiri... Hehe)

Saya tak peduli naskah saya ditolak, saya tak ambil pusing juga kalau blog saya nggak (belum) ada yang lirik, saya cuma mau menulis. Bukan berarti saya nggak senang juga kalau ada yang nerbitin ya, tapi yang pasti tak membuat saya berhenti menulis.

Tapi rupanya, hal itu mengundang masalah baru...

Sudah dua hari saya lupa nyuci baju, lupa masak, lupa beres-beres. Haha... Untungnya, suami nggak protes, asal jangan lebih dari 3 hari aja kali ya!

Masalah yang kedua adalah, ide yang banyak dan semakin banyak! Saat saya selesai nulis satu bab, muncul ide baru untuk satu novel. Nulis lagi dua bab, dua ide yang lahir. Nulis satu Novel, muncul ide buat bikin buku satu perpus! Saya jadi merasa tangan saya kurang banyak! Waktu saya kurang lama, dan tenaga saya kurang kuat. Hadeuh...

Yah, begitulah...

Tapi, kedua masalah itu bagi saya tetap menyenangkan. Itu karunia Allah kan. Pada masalah pertama, karunianya, saya punya suami pengertian banget... Bahkan kalau dia lihat saya lagi asyik nulis, dia bikinkan kopi panas, kadang juga dia bantu cuci piring. Hebat kan suami saya? Alhamdulillaah...

Pada masalah kedua, karunia nya adalah, saya semakin rajin nulis dan nulis lagi! Ide beruntun itu adalah amanah, jadi harus saya saya syukuri dengan menjalankan amanah-Nya lebih baik lagi. Betul kan?

Senin, 19 Oktober 2015

Keylanie: Wedding Organizer

Keylanie: Wedding Organizer

Wedding Organizer

Setelah sukses bantu sodara jadi panitia nikahan anaknya, cuma dengan budget 20 jutaan buat 250 undangan, kini saya juga ditantang untuk ngatur nikahan adik bungsu dengan 1500 undangan cuma dengan budget 60 jutaan!

Gila ya? Tapi… bukan tak mungkin kok! Nyatanya, diatas kertas semua terencana dengan baik.

Tanggal 1 bulan depan, in sha Allah, acara bakalan sukses. Meski bukan berarti nggak deg degan juga sih…. Hehe...

Agenda hari ini adalah, istirahat sejenak!


Selasa, 06 Oktober 2015

Mozaik Cinta (Bagian V)



Hanan menarik resleting tas makan siang Sami. Isinya, satu kotak nasi beserta lauknya, satu kotak puding, dan satu gelas jus jeruk. Tas kecil berbentuk kotak itu segera Hanan bawa ketika dilihatnya Sami keluar kamar.

Sudah seminggu ini, Hanan membuatkan Sami makan siang. Sami selalu mengeluh tentang makanan dikantinnya yang kurang bumbu, kurang variasi, monoton dan tidak menarik. Bukan itu saja, setelah hari itu, Sami selalu menjemput Hanan setiap sore. Bukankah ini perkembangan yang sangat baik? Mereka bahkan tak pernah menyinggung hal-hal yang sensitif dan tak enak untuk dibicarakan. Mereka hanya membicarakan hal-hal yang menyenangkan, karena tentu saja mereka punya keinginan yang sama. Mereka ingin suasana menyenangkan seperti ini bertahan selama mungkin. Tidak, bukan selama mungkin, tapi selamanya.

“Sudah siap?” Sami menghampiri Hanan. “Harum sekali,” Sami menciumi bau harum yang keluar dari tas makan siang yang dibawa Hanan. Mereka melangkah keluar rumah, Hanan mengunci pintu dan Sami masuk ke mobilnya.

“Mencium baunya, perutku keroncongan dari sekarang,” Sami memutar kemudi.

“Yang benar saja?” Hanan menepuk bahu Sami. “Kau baru saja makan dua piring, Sami!” Hanan tertawa.

“Jangan salahkan aku! Siapa suruh rasanya enak!”

“Pantas saja Ibu bilang kau bertambah gemuk. Penglihatan beliau pastinya benar.”

Beberapa kali mereka memang menjenguk dan mengunjungi Ibu Sami. Terkadang hanya sebentar, terkadang sampai malam. Tapi mereka tak pernah menginap. Hanan tak tahu mengapa, tapi ia menduga, Sami ingin mengerjakan sebuah gambar dirumah. Tapi Hanan tak pernah tahu, bahwa alasan Sami adalah, ia belum siap berada dalam satu ruangan bersama Hanan. Melihatnya memejamkan mata, melihatnya berbaring, bahkan tertidur disamping Hanan. Entahlah, ada sebuah ganjalan yang menghalanginya. Tapi apa itu, Sami juga tak tahu. Apakah Huda? Entahlah. Mengingat Huda, hatinya masih bergetar hebat.

Tapi ketika mereka datang kerumah Ibu, Huda tentu saja selalu ada disana. Dan dihadapan saudara sepupunya itu, Sami tak pernah bisa bersikap manis pada Hanan. Sementara Hanan, seperti sengaja menempel pada Sami jika mereka bersama Huda. Sami mendesah.
Sami ingat betul ketika pertama kali kedua gadis itu bertemu di rumah Ibu. Hari itu tepat satu minggu setelah mereka menikah. Hanan tak bisa menyembunyikan kekagetannya. Tangan Hanan mencengkeram lengan Sami.

“Sami? Dia?” matanya menatap Sami syok.

“Huda? Kau belum tahu?” karena itu Sami yang dulu, maka ia melepas cengkraman tangan Hanan dengan kasar, tapi sembunyi-sembunyi.

“Belum tahu apa?” Hanan menarik tangan Sami yang selangkah sudah meninggalkannya.

“Dia sepupuku,” jawab Sami enteng. “Seharusnya kau kenal dia dari dulu,” kata Sami sinis.

Hanan benar-benar syok. Sepupu? Gadis berambut coklat itu sepupu Sami? Tapi didalam foto keluarga yang ada di rumah Ibu, tak ada gadis itu. Siapa namanya tadi? Huda?

Hanan mengingat-ingat. Tunggu, Ibu pernah mengenalkan anggota keluarganya satu-satu ketika ia pertama kali diangkat menjadi anak oleh Ibu. Ibu, Ayah, Sarah, Lukman suami Sarah, Sami, dan... sepupu! Ya, ada. Wanita dengan kerudung warna pink yang berdiri disamping Sami dalam foto keluarga!.

“Sami dan sepupunya sangat dekat. Karena kami mengasuh Huda dari kecil, maka mereka tumbuh bersama. Huda sangat dekat pada Sami, lebih daripada kedekatannya pada Sarah.  Sami juga sangat sayang pada Huda, seperti dia menyayangi adiknya sendiri. Mungkin karena Sami memang merindukan adik,” itu kata-kata Ibu yang kembali diputar Hanan dalam otaknya. Ya. Huda. Ibu menyebut gadis cantik itu Huda. Tapi Hanan benar-benar melupakannya. Ditambah foto yang ditunjukkan Ibu padanya berbeda dengan kenyataan. Di foto itu Huda memakai kerudung, rambut coklatnya sama sekali tertutup. Berbeda dengan Huda dalam keseharian.

Mereka sangat dekat? Hanan mendesah. Tidak, Ibu. Mereka bukan dekat seperti seorang kakak dan adik, tapi mereka dekat karena mereka sepasang kekasih...

Hanan baru sadar dari lamunannya setelah Sami menarik tangan Hanan.

Saat itu mereka langsung menemui Ibu. Sami menggenggam erat tangan Hanan, kadang juga merangkulnya dan tersenyum ceria memandang Hanan. Tapi ketika Huda datang membawakan minum untuk mereka, perlahan, Sami melepaskan tangannya dari bahu Hanan. Ibu tak akan menyadarinya, tapi Huda dan Hanan pasti menyadarinya.

Ah, Hanan. Bukankah aku selalu membuatmu luka sejak pertama kali kita saling mengenal? Desah Sami. Terutama tentang Huda. Kau paling tersakiti. Dan atas alasan balas budi, kau menanggung sakit itu sendirian. Sami menghembuskan nafas berat.

“Kenapa?” suara Hanan membuyarkan lamunan Sami.
“Eh, tidak!”

“Kau melamun,” Hanan tersenyum. “Ada masalah?”

“Hanya masalah pekerjaan,” Sami berkelit.

Hanan menarik nafas. Sami terbebani dengan pekerjaan? Tidak mungkin. Apakah Sami merasa berat berbuat manis terhadapnya? Sementara dalam ingatannya hanya ada Huda? Hanan melihat keluar jendela. Apa yang dimiliki Huda yang tidak dimilikinya?

“Kau pernah merasa... bosan?” tanya Sami.

“Bosan?” Hanan melihat Sami dan mengerutkan keningnya. Apa Sami bosan pada dirinya? Bosan bersandiwara? Hanan mengerang dalam hati.

“Bosan berada terus di butik misalnya?” tanya Sami tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan didepannya.

“Ya, pernah juga,” Hanan mencoba menjawab ringan. “Hei mau mencoba tamasya?” Hanan membulatkan matanya dan mencondongan tubuhnya kearah Sami. Kalau Hanan menunjukkan wajah seperti itu Sami selalu tersenyum. Sikap kekanakkan Hanan terkadang membuatnya merasa menjadi sosok yang sangat dewasa. Berbeda dengan Huda. Huda justru selalu lebih dewasa dari dirinya. Sami mendesah lagi. Kenapa jadi membandingkan mereka berdua?

“Oh, kau tak mau?” antusias Hanan meruntuh.

“Eh, mau tentu saja! Kita belum pernah pergi berdua kan?”

Hanan tersenyum. “Sungguh?”

“Sungguh-sungguh. Jadi mau kemana?”

“Mh?”

“Kau suka hiking?” Huda suka hiking. Dia juga suka berkemah, suka panjat gunung.

“Aku belum pernah coba, jadi tak bisa bilang suka atau tidak. Kalau kau mau, aku mau mencoba,” Hanan menjawab bersemangat.

“Sebenarnya aku tidak suka, bagiku hiking bukan malah tamasya, tapi malah cape. Benar tidak? Kalau aku tak salah, Ibu pernah bilang kalau kau juga tak suka hal-hal semacam itu. Benar?”

Hanan tersenyum kecil. Benar. Dan itulah yang membuatnya resah. Di antara mereka terlalu banyak persamaan. Bukankah sesuatu yang sama tak akan bisa bersanding lama?

“Jadi kau mau kemana?”

“Terserah saja,” jawab Hanan riang, mencoba menutupi resahnya.

“Kau suka suasana pantai?”

“Aku suka lihat pantai. Tapi tak pernah benar-benar pergi kesana.”

“Baiklah, kalau begitu kita pergi kepantai,” sekarang Sami yang sangat bersemangat.

“Hah, laki-laki memang sangat suka kepantai,” Hanan mendengus.
“Bukan lihat pantainya kan? Tapi lihat pengunjung pantainya!” mulut Hanan maju satu senti. Sami tertawa terbahak, keras sekali. Hanan sampai menoleh padanya dan menatapnya heran. Sami bisa terawa sekeras itu?

“Jadi kapan kita berangkat? Sekarang?” kata Sami setelah reda dari tawanya.

“Kau benar-benar sudah tidak sabar lihat bikini ya?” Hanan bersidekap dada, marah. Dan melihat muka Hanan, Sami tertawa lagi, kali ini lebih keras.

“Kau sudah sampai,” kata Sami sembari berusaha menghentikan tawanya. Ibu jari dan jari telunjuk tangan kanannya mengusap air mata yang hampir menetes karena terlalu banyak tertawa. Sementara tangan kirinya memegang perut yang terasa sakit juga karena banyak tertawa.

Hanan membuka sabuk pengamannya, tapi tangannya berhenti karena Sami mengatakan sesuatu lagi.

“Kalau kau tak ingin aku melihat bikini orang lain, kenapa kau tak pakai bikini di rumah?” Sami tersenyum menggoda Hanan. Tapi candaan Sami bukan membuat Hanan tertawa, sebaliknya ia semakin tertunduk, tapi kali ini karena malu. Sami sadar, ia tengah mengatakan sesuatu yang sensitif. Apakah kata-katanya terlalu cepat?

“Aku cuma bercanda,” Sami mengacak kepala Hanan yang berbalut kerudung sebelum ia mencium tangan Sami dan keluar dari mobil.

“Bagaimana kalau besok?” Sami menahan langkah Hanan yang hampir mencapai pintu butik.

“Aku ikut saja.” Dan setelah senyunmya yang terlihat merah, Hanan menghilang tertelan pintu kantornya, atau butiknya, atau apalah itu. Sami menyandarkan tubuh dan kepalanya. Tangan kirinya masih memegangi perut yang masih terasa tegang.

Mata Sami terpejam, mengingat dan mengendapkan bayangan Hanan yang tersenyum memerah. Senyum karena malu. Hanan benar-benar manis kalau seperti itu. Ranum, membuat Sami ingin menggigitnya. Tiba-tiba Sami membuka matanya.
Aku mikirin apa sih?

Sami menggelengkan kepalanya mengenyahkan pikiran kotornya. Kotor? Ah, tidak. Hanan kan istrinya. Justru jika ia membayangkan Huda, maka ia tengah berpikir kotor. Meski ia membayangkan senyumnya saja. Benar kan?

Dan aku sering melakukan itu. Hhh... Hanan sering-seringlah tersenyum seperti tadi, agar aku bisa melupakan Huda secepat aku bisa...

*   *   *

Sami tertegun melihat kotak makan siangnya. Entah apa yang dilihatnya, karena selain menu dan penampilannya yang menggugah selera, tak ada yang aneh dengan makan siangnya.

Setelah diam memandang beberapa lama, tiba-tiba dengan gerakan cepat, Sami menutup kotak makan siangnya lalu memasukkannya kembali kedalam tas. Lalu dengan teruburu-buru, disambarnya kunci mobil dan dijinjingnya tas makan kemudian berjalan tergesa keluar kantor. Saking tergesanya, tak ada satu pun karyawan yang sempat menegurnya, mereka hanya melihat kepergian Sami dengan heran. Salah satu karyawan yang juga melihatnya hingga menghilang adalah Huda. Dia melihat Sami dengan sorot mata sendu, sembari tangannya meragkul kotak makan siang yang sedianya akan ia berikan pada Sami.

Setelah Sami tak terlihat, Huda kembali masuk keruangannya dan duduk dimejanya. Makan siang kali ini pun ia buat untuk sia-sia. Bahkan untuk sekotak makan siang, Sami sudah tak lagi membutuhkannya. Tangannya mengepal kuat, menahan rasa sakit yang tiba-tiba mendera dadanya. Rasa sakit, yang hanya dirinya yang mengerti...

*   *   *

“Ya, baiklah saya akan mencobanya,” Hanan berbicara dengan telefon kabelnya. “Untuk design saya akan menyelesaikannya malam ini, besok Tante bisa datang deh, lihat dulu...,” kata-kata Hanan terpotong karena tiba-tiba matanya menangkap sosok Sami didepannya.

Sami mengangkat tangannya, mempersilahkan Hanan untuk melanjutkan.

“Ya..., jadi kalau tak cocok, saya bisa langsung merubahnya sesuai dengan kesan yang ingin Tante tampilkan.”

Sami berjalan mengelilingi ruangan Hanan. Di ujung sana, Sami membuka buka gambar design dan menyentuh kain- kain sample yang ditumpuk. Hanan berusaha terus konsentrasi dengan Tante Diah yang tengah mengajaknya bicara sekarang. Tentang keinginan anaknya, selera, bla bla bla...

“Ok. Tapi lebih bagus lagi, kalau anak Tante besok kesini. Siapa namanya? Ya, Luna. Biar ia bisa langsung koreksi.”

Sami berjalan lagi dan duduk di sofa besar berwarna tanah. Warna yang lembut namun elegan. Sami memuji cara Hanan mengatur interior kantornya. Sangat Hanan, juga sangat dirinya. Ibu benar, selera mereka sama persis.

“Wahhh! Sekalian saja saya dirikan wedding orginezer!” Hanan tertawa. “Ya, konsepnya sudah saya tangkap.”

Sami memandang Hanan dari kursinya dengan kening berkerut. Hanan melihatnya dan mengira-ngira apa yang membuat kening laki-laki itu berkerut.

“Sip deh. Yo, Wa’aikumussalam...” Hanan menyimpan gagang telponnya.

“Merancang baju pengantin?” Sami menebak.

“Ya. Tante Diah itu langgananku. Setiap beli baju, pasti datang kesini. Untuk pernikahan anaknya, ia ingin aku yang merancang bajunya. Ya, memaksa gitu deh,” Hanan berdiri dan menghampiri Sami, lalu duduk diseberang Sami. Di Sofa ukuran sedang. “Tadinya aku menolak, aku menawarkan jasa Kas Sarah, kubilang beliau perancang wedding dress. Tapi dia keukeuh, akhirnya karena Luna-nya sendiri juga maksa, aku setuju untuk mencobanya.”

“Sudah selesai?”

“Aku tidak bermaksud merebut pekerjaan Kak Sarah kok!”

Sami tertawa, membuat lagi-lagi, Hanan memandangnya dengan heran. Meski tawa yang ini tak sekeras tawanya tadi pagi, tetap saja Hanan merasa kaget.

“Memangnya siapa yang menuduhmu merebut pekerjaan orang lain sampai kamu cerewet membela diri?” tanya Sami disela-sela tawanya.

Mulut Hanan mengerucut. Memang tidak ada sih. Itu cuma kesimpulannya sendiri karena melihat kerutan di kening Sami. “Sampai kapan kau akan tertawa?” tanya Hanan kesal.

Sami menutup mulutnya dan berusaha menghentikan tawanya.

“Menurutku tak ada yang lucu,” Hanan cemberut lagi. Tawa Sami meledak lagi, tapi kemudian ia membekap mulutnya dan berhenti tertawa.

“Maaf,” Sami berhenti tertawa sekarang. Ia berdehem beberapa kali, menyamarkan tawa yang hampir keluar lagi. “Aku juga tidak tahu sejak kapan aku sangat suka tertawa,” akunya pada Hanan. “Tapi, well, sudahlah. Aku berdo’a semoga ... apa tadi? Wedding...”

“Wedding dress.”

“Ya, pesanan wedding dressnya berjalan lancar. Aku berjanji akan tutup mulut pada Kak Sarah,” telunjuk dan ibu jari Sami saling menempel dan menggariskannya dibibir. Memberi tanda, ia akan tutup mulut. “Sekarang, mana kotak makan siangmu?”

Hanan mengerutkan keningnya. Kotak makan siang?

“Kau membuatkanku makan siang, kau pasti membuat untuk dirimu sendiri kan?”

Hanan mengerjap. Membuat untuk diri sendiri?

“Jangan katakan, kalau kau tidak membawa bekal?” intonasi Sami meninggi.

Hanan melihat ke jendela menghindari tatapan Sami.

“Kau juga tak beli makanan dari luar kan?” tanya Sami melihat gelagat Hanan yang aneh.

“Masalahnya, aku tak sempat...,” bisik Hanan.

“Ya Allah..., tak sehari pun selama hidupmu kau makan siang? Jangan jadikan keasyikanmu dengan pekerjaan sebagai alasan. Apa kau sadar, kau bisa sakit tahu?” Sami marah. Tapi kali ini, Hanan tak kesal dengan marahnya Sami.

Hanan memandang Sami dengan senyum kemenangan dan tatapan yang aneh. Sami menyadarinya. “Ya, ok. Aku juga sama. Jadi aku memarahi diriku juga. Ok?”

Hanan tertawa.

“Sekarang kau yang tertawa,” Sami berpindah duduk kesamping Hanan. “Sekarang, karena kau tak membawa bekal, kita makan saja ini berdua.” Sami membuka resleting dan mengeluarkan satu persatu bekalnya dari dalam tas. “Tapi karena sendoknya hanya satu, kita bergantian saja ya?”

“Sebenarnya, kau datang kesini untuk...”

“Mencari teman makan.” Jawab Sami. Ia memberikan sendok pada Hanan, menyuruhnya menyuapkan makan terlebih dahulu.

“Sebenarnya, aku belum lapar...” Hanan berpaling. Ia memang tak biasa makan siang. Sejak kecil.

“Itu karena kau membiasakan diri untuk keasyikan bekerja, jadi kau harus rubah kebiasaan itu sedikit-sedikit. Makan siang sangat dibutuhkan tubuh kita. Kau ingat, kau pernah mengatakan ini padaku?”

Hanan terdiam beberapa saat. Sami mengambil inisiatif mengambil nasi satu sendok dan daging beberapa serat, lalu menyuapkannya pada Hanan.

“Bukan kebiasaan Sami, tapi karena tak ada makanan...,” Hanan menerawang. Kata-kata Hanan yang pelan membuat Sami menurunkan tangannya juga perlahan. Apa katanya?

“Aku dan Ibu harus bekerja dari subuh hingga malam. Bekal nasi tiga suap dipagi hari sudah cukup jadi energi untuk kami. Kami mencuci semua baju mereka, menyiapkan makanan mereka, mencuci piring bekas mereka, membereskan ruangan mereka. Saat jam makan siang, adalah saat-saat paling sibuk. Tak ada waktu untuk makan. Kalaupun ada, kami tak pernah berani makan, jika tidak, kesalahan kecil itu akan membawa ibuku pada paksaan untuk melayani tamu,” Hanan mengusap airmata yang tiba-tiba meleleh.

Sami terkesiap, disimpannya kotak makan siang beserta sendok yang tadi dipegangnya. “Kalian tak punya hari libur?”

“Tidak. Kami mengurus makanan banyak orang, dan banyak orang itu tak pernah berhenti minta makan kan?” Hanan tertawa hambar. “Kami tak boleh makan dari jatah makan mereka. Makanan kami adalah makanan yang kami beli dengan uang sendiri. Uang gaji yang tak pernah cukup untuk sekedar mengganjal perut satu orang wanita ringkih, dan satu anak kecil.” Air mata Hanan meleleh lagi, kali ini jemari Sami yang menghapus aliran itu perlahan.

“Kalaupun kami ada uang, kami memilih untuk mengumpulkannya, agar kami bisa menebus diri kami dan keluar dari tempat itu,” sekarang tetesan airmata itu susul menyusul. “Maaf, aku jadi mengatakan yang tidak-tidak,” punggung tangan Hanan saling berlomba menyusut air mata. “Aku tak tahu, kenapa aku bicara hal ini padamu, sebelumnya, cerita ini milikku sendiri...,” Hanan menelan ludah berkali-kali, berusaha menahan tangisnya.

Sami melihatnya dengan sedih. Kehidupan Hanan sekeras itu?

“Tidak, tak perlu ditahan, menangis saja kalau kau memang ingin...,” tangan kekar Sami mengambil kepala Hanan dan merengkuhnya. “Menangis saja... Kau sudah menahannya sekian lama, bukan? Lepaskan, Hanan...”

Awalnya airmata Hanan hanya meluncur tanpa suara, tapi seiring bergolaknya dada Hanan, isak itu keluar juga. Semakin lama semakin keras. Sami mengeratkan pelukannya, lalu disentuhkannya mulutnya pada kepala Hanan. Hanan adalah perempuan pertama yang menangis didadanya.

Setelah waktu berlalu cukup lama, tangis Hanan mereda. Jika pada awalnya, tangisan itu pelan dan semakin lama semakin keras, sekarang sebalknya, tangisan itu semakin memelan dan mereda pada akhirnya. Sami merasa lega. Sudah habiskah emosi Hanan? Sudah tersalurkan?

“Maaf,” Hanan menjauh dari tubuh Sami. Tangannya sibuk menghapus airmata.

“Sudah merasa lebih baik?” Sami menatap Hanan tersenyum.

Hanan mengangguk. “Maaf. Aku tak tahu, kenapa aku tiba-tiba menceritakan hal yang tak perlu seperti itu,” Hanan tertawa pelan.

“Jangan minta maaf. Lagipula..., masa lalu bukan sesuatu yang tak perlu.” Sami menghela nafas panjang. “Baiklah, kalau kau masih sulit makan, sekarang, temani aku saja. Ok?”

Hanan mengangguk setuju tak tahu kalau Sami berbohong. Diantara suapan-suapan untuknya, Sami terkadang menyodorkannya untuk Hanan. Memaksanya dengan lembut, kadang juga memaksanya sungguh-sungguh. Dari tiga suap yang berhasil masuk perut Hanan, Hanan mengunyahnya dengan penuh penderitaan. Lalu dengan minum air seteguk, Hanan sudah menderita kekenyangan.

“Sepertinya, mulai hari ini, aku akan makan siang disini setiap hari.” Kata-kata ringan, tapi cukup membuat Hanan tersentak.

Apa? Tidak! Tapi jauh dilubuk hatinya, Hanan menyukai keadaan ini, juga Sami.

Kamis, 01 Oktober 2015

Ertugrul

Kisah hidup Ertugrul tidak semeriah pahlawan Islam lainnya. Tak seagung keturunannya al-Fatih, tidak juga seharum Shalahuddin al-Ayubi.

Jujur saja, saat mendengar nama ini saya juga mengerutkan kening, mengingat-ingat, karena saya yakin pernah mendengarnya entah kapan, entah dimana. Saat menelusuri jejaknya pun, tak banyak orang berkisah rupanya. Tapi meski begitu, keharuman namanya tetap tercium meski kisahnya hanya satu halaman terulas.

Masa kehidupannya sangat bersinggungan dengan sejarah besar Islam masa itu. Diantaranya, Kesultanan Mamaluk di Mesir, Perang 'Ain Jalut, Agresi Mongol, Kesultanan Saljuk Roma, Perang Salib, dan tentu saja Kesultanan Utsmaniyah Turki. Ertughrul tak terlibat langsung dalam segala hal itu, tapi segala peristiwa itu memeliki keterkaitan dalam hidupnya.

Ertugrul adalah ayah kandung Utsman I, pendiri Kesultanan Utsmaniyah Turki. Ia seorang pemimpin suku Kayi, bangsa Turki.

Kepahlawanannya dimulai ketika ia terusir dari agresi Mongol, ia dan ayahnya, Sulaiman Syah keluar dari Asia Tengah dan berlindung dibawah Kesultanan Saljuk Roma saat diperintah oleh Sultan Alauddin II.

Wilayah Kesultanan Salju Roma berbatasan wilayah Kekaisaran Bizantium, yang tentu saja kedekatan itu menimbulkan pergesekan, karena kaum salib saat itu juga tengah melakukan misi Perang Salib. Dalam sebuah peperangan melawan Bizantium, Ertugrul memimpin 400 pasukan berkuda, dan secara gemilang mendapatkan kemenangan, yang membuat Sultan Alauddin II memberinya hadiah sebuah wilayah di Angora (sekarang Ankara), wilayah yang berbatasan langsung dengan Kekaisaran Bizantium.

Ketika didunia luar terjadi banyak peristiwa, salah satunya perang 'Ain Jalut (1260) Ertugrul terus merongrong wilayah Bizantium, hingga satu persatu desa berhasil ia kuasai. Selain itu, ia juga membangun wilayahnya dengan segala hal untuk kemajuan, mulai dari pendidikan hingga pertahanan. Hingga ia wafat pada tahun 1280.

Atas restu Sultan Saljuk, putranya Utsman melanjutkan kepemimpinan di wilayah yang dikuasai Ertugrul.

Pada masa depan, Utsman inilah yang mendirikan Kesultanan Turki Ustmaniyah dari daerah yang ia warisi dari ayahnya, Ertughrul.

Wallaahu'alam.