Kamis, 21 Juli 2011

Kembara rindu, palsu

Telah lelahkah Kau menantiku?

“Tidak,” Sahut-MU

Bosankah Kau dengan palsuku?

Diam.

“Bukankah kesturi itu wangi,

Dan api itu membakar?”

Aku menangis,

Tapi lalu terbang,

Tak terkendali…

Resah Tumpah

Angin...!
Sampaikan galau ini ke tiap lekukan bumi
Bawa resah ini ke pelosok awan putih
Tiupkan gamang ini ke tengah badai menari
Sebab aku,
Telah lelah menunggunya sendiri..

Memahami Laki-laki

Terbentur,
menjauh, memaksa, melesat.
Terbentur lagi
kaki ini terpental
sakit
tapi aku tertawa
tak bisa menyatu

tapi jika bersama, tetap bisa kan?

Seperti

Seperti
Pecahan kaca tak berbentuk
Hancur, terpecah-pecah, kecil-kecil

Sedemikiankah,
Cinta membuatku begitu kerdil?
Tak berdaya diantara selaksa rasa
Tak merasa diantara ribuan suka

Aku hanya merasa
Tak sanggup.
Memikul beban ini sendirian
Meski percuma menumpah semua kobar
Pada ombak yang pendar bergencar-gencar

Tapi
Aku tak punya waktu untuk menangis
Cuma punya untuk berdiri
Dan selangkah
Menatap masa
Yang menanti didepan.

Tak Berjudul

Tertawa
Tapi aku sunyi...

Tertinggal

Aku tak punya waktu
Semua hilang
Tak berbekas
Terbang, bebas, melesat
Meninggalkan sekeping cinta,
Mati.

Tentang Kaa

"Rindui aku Za..., sebab setelah ini, aku hanya akan hidup dalam kenanganmu..." kau usap air matamu dengan ujung kerudung sutramu.

* * *

Gerimis datang lagi. Tahu tidak Kaa, aku mengingatmu lagi. Tentang masa lalu yang riuh. Tentang sepi juga. Tentang kita.

Kau ingat, di sini, dulu kau tertawa manis dengan mata segaris, berbisik kalau kau sangat menyukai gerimis.

“Gerimis selalu memberiku banyak inspirasi,” desahmu waktu itu.

Lalu kau berlari kesisi taman, mengambil alat tulismu, lalu kembali duduk ditempat yang tadi kau duduki, menulis dibawah gerimis.

“Tolol, kamu bisa sakit tahu?” aku mengambil notes lecekmu. Lecek karena terlalu sering kamu jatuhi gerimis.
Lalu mata riangmu menatapku. “Tak akan sakit, aku sudah terbiasa…,” tawamu.

“Terbiasa apanya, tak ada yang biasa dengan penyakit!”

“Gerimis itu temanku, Za. Dia tak akan membuatku sakit. Percaya deh sama aku…”

Aku marah, melempar notes kehadapanmu. Dan kau tersenyum, meneruskan keasyikanmu.

Sebenarnya, aku tak ingin mengusikmu waktu itu Kaa, tapi aku terlalu cemburu dengan keasyikanmu. Kau bukan milikku saat ber-uzlah)* seperti itu.

Beberapa anak yang sejak tadi bermain bola, satu-satu mulai berlari pulang.rupanya senja telah datang.

Aku berdiri dan beranjak dari kursi yang kududuki. Juga kursi yang biasa kau duduki dulu. Aku berdiri, ditempat dulu kau selalu berdiri. Sekarang aku dijatuhi tetes gerimis beribu-ribu. Sebagaimana kau dulu.

Mungkin aku mulai gila ya, Kaa? Aku tak tahu. Aku hanya berusaha menyelami perasaanmu. Dan sekarang aku memang merasakannya. Ada kelezatan disini, Kaa. Seperti inikah juga kelezatan yang kau rasakan dulu?

Kepalaku mulai menengadah, menutup mata, dan mulai kurasakan lembutnya sentuhan gerimis. Duhai... Kaa, aku seperti merasakan belaianmu.

Ha..ha.. belaianmu? Memang kapan kau membelaiku? Pernahkah? Tidak bukan?

Hujan mulai kerap dan melebat. Dulu, kau akan menepi jika hujan mulai seperti ini. Dan aku yang selalu menunggu disisi, kegirangan setengah hati. Setengah hati karena lalu kau bilang, "Aku juga suka lebat, tapi saat lebat, kertasku akan basah!" Lalu kau menulis disisiku. Disisiku, ya, tepat disisiku. Tapi kau tahu Kaa, kau begitu jauh.

Aku masih disini, menerima tamparan-tamparan hujan. Aku buka mataku, menantang. Dan kulihat kau tersenyum dan melambai.

Kau datang Kaa? Kau datangkah?

Lalu sayap bidadarimu mengepak, tersenyum dan berlari menghilang.

KAA...

)* uzlah : meyendiri, mengasingkan diri.

Rabu, 20 Juli 2011

merdeka dari perbudakan mood!

Tangan terus bergerak. Tak bisa berhenti. seolah berlomba saling menyusul antara tiap huruf dengan imaji yang semakin melesat tak terkendali. lebih seringnya, imaji yang menang. jarang-jarang tangan berhenti kecuali hanya untuk istirahat sejenak menghela nafas. saat semua berlangsung seperti itu, segalanya selesai dengan cepat. tak perlu menunggu lama, tak perlu bolak balik ke dapur hanya untuk minum segelas air, bahkan rasa kantuk kalah oleh nafsu imaji yang berambisi menyelesaikan sendiri.
sooo fun!
tapi...
ceritanya lain kalau mata melotot tak fokus, tangan berhenti diudara tanpa mengetik apapun, dan air teh di cangkir lagi lagi habis, entah untuk keberapa kali. saat itu, desahan demi desahan terus menguap dari pernafasan.
dan itu, saangat menyebalkan!
pernah mengalami juga?
saat sangat ingin menulis, tapi tak ada imaji yang mau menyembul. ibaratnya, kita sedang sangat lapar dan haus, tapi tak ada seuatu pun yang bisa dimakan dan diminum! rasanya pengen nangis dan teriak!
nah, kalau keadaan seperti ini, enaknya tutup laptop, lalu baca. atau tidur deh sekalian, apalagi kalau dah larut malam.
tapi ada nih satu tips dari Faudzil Adhim, entah saya lupa baca di buku beliau yang mana. benar-benar tak ingat!
beliau adalah tipe penulis yang menulis tanpa diperbudak mood. huh? how can? bisa kok, buktinya beliau sendiri. gak percaya, boleh tanya langsung ke orangnya, tapi jangan tanya alamatnya sama aku ya! apalagi minta ongkos. hehe...
apa yang beliau raih sekarang (bebas dari perbudakan moo), ternyata tak diraih dengan mudah, melainkah dengan proses latihan yang lumayan rerpot. yup, latihannya cuma satu jenis sih, tapi ya gitu deh...
beliau selalu berlatih untuk menulis justru saat sedang tak memiliki mood sama sekali, dan berlatih untuk menahan imaji saat mood benar-benar di puncak!
susah!
awalnya iya, kata beliau. tapi mudah kalau kita MEMAKSAKAN DIRI! hasilnya...
KITA BISA MERDEKA DARI BUDAK MOOD!
tapi masalahnya adalah....
aku sendiri belum pernah berhasil! heheheheheh....
karena memang tak pernah berusaha sih.....