Selasa, 16 November 2010

Pelataran Kasih XIV (Akhir Dari Sebuah Pilihan)

Jamie

Aku baru menyelesaikan shalat maghribku, ketika sebuah ketukan mendarat dirumah kontrakan kami.

“Ada tamu, Kak. Wanita bermata hijau itu, siapa namanya?” Rere menyentuh pundakku.

“Rana?” kataku menebak. Tak ada wanita bermata hijau disekitar kami selain Rana.

“Ya, dia.”

“Ngapain?”

Istriku hanya mengangkat bahu. “Dia seperti kebingungan.”

Lalu dengan kening berkerut, aku menemui Rana.

“Maaf mengganggu,” katanya dengan senyum yang dipaksakan. “Aku sangat bingung Jamie. Aku tak tahu harus bicara dengan siapa. Lalu ketika aku keluar dari Masjid diujung sana, aku tiba-tiba ingat kalau rumahmu disini. Jadi aku kemari...”

“Ada apa?”

Rana tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya terdiam lama. Aku tak mengusiknya. Kubiarkan ia seperti itu, selama ia mau...

“Bernard dan Krishna,” kata Rana akhirnya dengan suara yang sangat rendah dan pelan.

“Krishna? Kenapa dengan kakak?” Rere datang dan meletakkan satu gelas teh manis hangat dihadapan Rana.

“Aku tak tahu apa yang sudah terjadi diantara mereka. Sore tadi, Krishna membiarkan aku untuk memilih.”

Aku sudah mendengar dari Krishna tentang keputusan terakhirnya. Dan kalau tak salah, seharusnya sore ini masalah akan berakhir. Rana akan berada disisi Krishna, atau Bernard. Tapi kenapa Rana malah menemuiku?

“Lalu?” tanyaku mulai tak sabar.

Rana menyilangkan kedua tangannya didada, memeluk dirinya sendiri. “Aku tak tahu...”

“Kau takut merusak persahabatan mereka?”

“Ya, selain itu, aku sama sekali tak tahu siapa yang aku suka.”

“Aku tak mengerti.”

“Yang aku suka adalah Nana. Bukan Bernard atau Krishna.”

“Aku tak mengerti.”

“Sayangnya, aku juga tak mengerti Jamie...” Rana mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah saputangan merah muda yang sudah sangat usang.

“Jika aku memilih Krishna, apakah Bernard akan menganggap Krishna tetap sebagai sahabatnya? Jika suatu saat, aku menikah dengan Krishna, apakah Bernard masih akan berkunjung kerumah kami? Melupakan rasa sukanya? Melupakan rasa sakitnya?” Rana bertanya padaku. Tapi seperti dulu, aku tak bisa menjawabnya.

“Aku tak akan memilih Jamie..., tak akan.” Tangannya memeluk tubuhnya sendiri semakin erat. Lalu berulang kali ia mengucapkan kata ‘tak akan memilih’ dengan mata berkaca.

Aku tak melihatnya lagi setelah itu. Rana mengundurkan diri dari perusahaan. Sampai aku menerima teleponnya suatu malam setahun setelah kedatangannya.

“Jamie?”

“Ya?”

“Bolehkah aku melamar laki-laki?”

Aku terhenyak. Rana akan melamar seseorang?

“Khadijah melamar Muhammad.”

“Terimakasih,” Rana hampir menutup telefonnya ketika aku menahannya dengan pertanyaan.

“Bernard atau Krishna?”

“Seseorang.”

Lalu hening, dan dia mengucapkan salam.

Aku memandang gagang telefon itu lama, seperti aku memandang Rana. Seseorang. Apakah itu artinya Rana telah memilih?

Ya, Rana memang telah memilih. Aku menerima undangan pernikahannya, satu bulan setelah teleponnya malam itu. Rana telah menjatuhkan pilihan pada seorang laki-laki yang dewasa, tampan (meski usianya menginjak empat puluh), lalu memiliki mata yang lembut. Orang itu Pak Nanta. Orang yang sangat baik dan sangat memperhatikan Rana disaat orang lain membuangnya.

Rana terlihat sangat bahagia saat pernikahannya. Aku datang dengan Rere dan dengan anak kami yang masih berusia satu bulan. Disana, aku bertemu dengan Krishna dan Bernard. Mereka datang bersamaan.

“Kapan kalian menyusul?” tanyaku.

“Kapan ya?” Krishna bertanya pada Bernard.

“Kapan?” kali ini Bernard bertanya pada Krishna. Lalu mereka tertawa. Dan aku hanya menggelengkan kepala. Mereka memang terlihat lebih akrab setahun terakhir. Terkadang, keakraban mereka, membuatku sedikit iri.

Setahun berikutnya, giliran Bernard yang menikah. Dia memilih Hani untuk dijadikan istri. Hani memang sangat cantik, tapi kecantikan yang Hani miliki sangat berbeda dengan Shasha. Shasha memiliki kecantikan khas Eropa. Sedangkan Hani, dia oriental, tapi matanya sedikit besar. Mungkin, Bernard benar-benar telah melupakan lukanya terhadap Shasha.

Krishna mengacungkan dua jempol untuk mereka. Tak henti-hentinya Krishna menggoda sang pengantin.

“Yang satu gila kerja, satunya santai. Satunya tegas dan ketus, satunya lembut dan ramah. Aku heran bagaimana sih kalian bisa jatuh cinta?”

Tepat tiga detik setelah Krishna selesai menggoda, giliran Krishna jadi sasaran godaan semua orang. Krishna dibilang bujang lapuklah, dibilang nggak laku, atau bahkan dia tak menyukai cewek! Krishna marah besar. Tapi itu membuat semua orang tambah tertawa.

Dua tahun setelah itu, Krishna yang mengundang kami kerumahnya. Dia mengundang aku, Bernard dan Rana secara khusus. Aku datang lebih dulu, dengan Rere dan Faris, keponakan Krishna yang berumur tiga tahun.

Setelah aku, Rana menyusul. Dia datang dengan pak Nanta juga dua putri kembarnya yang mempunyai mata hijau berlian. Mereka terlihat sangat manis.

Setelah Rana, baru Bernard. Tentu saja, dia datang bersama Hani. Hani tengah mengandung anak Bernard yang kedua! Padahal anak pertamanya baru genap berumur satu tahun.

“Mana Ahsan?” Krishna menyambut kedatangan Bernard.

“Dirumah, sama neneknya. Tadinya mau kubawa, tapi Mama baru datang tadi sore, beliau masih rindu dengan cucunya. Faris ya?” Bernard mencubit hidung Faris yang duduk manis dalam gendongan Krishna. “Kok tambah mirip kamu Kris?”

“Lebih baik begitu, dari pada dia mirip bapaknya yang...” kata-kata Krishna terpotong karena lemparan bantal sofa yang mengena tepat kekepalanya. “Aduh Jamie, kita bukan anak kecil lagi tahu?” Krishna merapikan rambutnya yang acak-acakkan.

“Makan malam siap, mau makan sekarang?” Rere datang menghampiri kami.

“Nanti saja, kita masih kangen-kangenan nih!” Rana berkata sambil membenarkan kerudung yang dikenakan salah satu anaknya.

“Ya, lagipula, kita belum tahu maksud Krishna mengundang kita,” kata Pak Nanta menyetujui perkataan Rana.

“Apalagi kalau bukan calon istri.” Bernard tertawa. “Siapa?”

Krishna tersenyum. Diberikannya Faris pada Rere. “Bukan siapa-siapa,” katanya tenang.

“Bukan siapa-siapa bagaimana?” tanya Hani.

“Aku mengundang kalian untuk perpisahan.”

“Perpisahan?” Rana mengerutkan keningnya.

“Aku akan ke Inggris, satu minggu lagi.”

“Apa?!!” kata kami semua bersamaan.

“Aku lulus tes untuk melanjutkan studi kesana.”

“Kamu tahu tentang ini Jamie?” Bernard bertanya penuh selidik padaku.

“Bahkan akupun tidak tahu!” Rere yang menjawab.

“Kenapa tidak pernah membicarakan ini dengan denganku?” tanya Bernard dengan suara yang agak keras.

“Karena aku ingin memberi kejutan!” Krishna tertawa. Tapi kami semua terdiam. Hanya suara tangis Faris yang terdengar. Dia sudah tampak ngantuk, tadi siang dia tak tidur sedikitpun, dia terlalu asyik bermain dengan kakek neneknya yang sudah tiga bulan ini tak bertemu.

“Hei, ayolah! Jangan masang tampang menakutkan gitu dong! Aku kan cuma mau ngasih kejutan!”

Dan seminggu setelah itu, Krishna benar-benar pergi. Entah apa yang jadi sandarannya untuk keluar dari negeri ini. Apakah untuk melupakan cintanya pada Rana yang masih ia simpan sampai saat ini? Aku tak tahu. Tapi telepon yang kuterima seminggu yang lalu, membuatku menarik nafas panjang.

“Jamie... bolehkan aku menikah dengan seorang gadis bermata hijau? Dia berjilbab dan berhidung mancung. Sangat mirip dengan Rana....”

Aku belum mau menjawab. Bermata hijau, berjilbab, berhidung mancung, dan sangat mirip dengan Rana? Bukankah itu artinya... Krishna masih menyimpan Rana jauh didalam jiwanya?

Ya, benar begitu. Aku ingat suatu sore ketika aku tengah berjalan bersamanya. Krishna tiba-tiba berhenti karena melihat tak jauh dihadapan kami, beberapa orang anak tengah bermain bola. Krishna diam berdiri dan memandang lurus kearah mereka.

Matanya menyiratkan sebuah kerinduan yang dalam. Kukira saat itu, ia tengah rindu untuk kembali bermain bola. Tapi ternyata aku salah. Sebab, ketika bola itu terlempar tepat kehadapan Krishna, Krishna hanya memandangnya terpaku. Tubuhnya membungkuk, tangannya menjulur hendak menyentuh makhluk bundar itu dengan bergetar.

Tapi beberapa detik kemudian, Krishna kembali menarik tangan itu dan berbalik pergi.
Tapi, bisakah aku memberi saran yang lain?

“Jamie?” suara Krishna menyadarkan lamunanku.

“Oh ya?”

“Bagaimana?”

“Jika gadis itu pelataran kasihmu, Krishna ....”

Aku senang, karena akhirnya aku bisa menjawab pertanyaan Krishna.

TAMAT

Pelataran Kasih XIII (Kenangan Itu...)

Krishna

Aku sedang memandang mentari senja seperti biasa ketika Rana menghampiriku. Aku salah tingkah karena tak menyangka kehadirannya.

“Tak apa kan? Toh diantara kita sekarang tak ada apa-apa,” kata Rana tak memperdulikan kekikukkanku.

Aku membuang nafas. Entah kenapa, aku tak terbiasa dengan kata-kata ‘diantara kita tak ada apa-apa’. Karena tak bisa kuingkari, perasaanku tak pernah seperti itu.
Lalu untuk beberapa saat lamanya, kami terdiam dan memandang kaku pada matahari yang tersenyum menertawakan sikap kami.

“Boleh aku tahu sesuatu?” Rana membuka percakapan.

“Tentang?”

“Masa lalu?”

Aku menatap tak mengerti. Bukan, bukan menatap Rana, tapi menatap mentari. Cukup menatap mentari, karena selama ini, memang dia yang ada diantara kami berdua.

“Kenapa tak mengirm surat padaku? Atau menelepon?”

“Tak ada jejak.”

“Kertas itu... apa terbang?”

...

Hujan menderas. Menghentikan permainan kami tiba-tiba. Menghentikan derai tawa kami, membuyarkan keasyikan kami.

Aku menatap langit. Menatap tetesan-tetesan hujan yang susul-menyusul memukul wajahku. Menyentak dan menghentak, mengingatku pada janji terucap akan sebuah waktu yang aku nantikan.

“Hujan Nana! Kita pulang saja!” seorang teman meneriakiku yang berdiri mematung ditengah lapang. Menyuruhku segera berlari menepi.

“NANA!”

Suara ramai temanku tak terdengar. Yang kudengar malah suara Rana kemarin sore...

Aku tunggu jam empat ya?

Dan butiran-butiran air yang melewati mataku memantulkan wajah Rana. Wajah Rana yang tengah resah menungguku.

“NANA!” suara teman-temanku kembali terdengar. Tapi aku tak punya banyak waktu untuk sedikit saja memperhatikan mereka. Segera, aku melempar bola yang tengah kugenggam dan berlari sekuat tenaga menuju Rana...

...

“Sore itu aku datang...,” mata Rana menerawang. “Tepat jam tiga. Karena aku... tak ingin melewatkan waktu sedetikpun tanpamu....” Rana menghela nafas panjang.

Aku menelan ludah. Menelan penyesalan-penyesalan yang terus mengalir keluar.

“Aku terus menunggumu. Sampai angin bertiup, sampai hujan menetes. Aku bahkan baru
ingat, kalau aku telah menunggumu dua jam, setelah Papa memayungiku dan mengajakku beranjak.” Sejenak, Rana menghela nafas berat. Memandang keatas untuk menyembunyikan dan memaksa airmata yang mulai menggenang supaya kembali masuk dan tenggelam.

Dua jam... dua jam...

Kemana terbangnya ingatanku saat dua jam itu ?

“Aku tak mau pergi, karena aku belum bertemu denganmu. Akhirnya Mama menawariku secarik kertas yang sudah tertulis alamat kami dan no telepon rumah di Semarang. Aku menurut, karena... jika kamu menyimpan alamatku... kamu akan mengingatku bukan?”

...

Aku berlari tanpa berhenti. Tanpa peduli hujan yang semakin menderas, tak peduli teriakan yang lain. Karena aku punya tujuan. Dan tujuanku... aku tahu... akan menghilang, jika aku berdiam lebih lama.

Tepat saat aku sampai ditaman ini... sebuah mobil kijang berwarna hijau menjauh. Aku tahu itu mobil Rana. Aku berlari dan berteriak sekuat tenaga. Menyusul Rana adalah cara satu-satunya...

Aku berlari.... berlari... dan berlari...

Aku berteriak... memanggil... dan memanggil...

Apa kau tak mendengar teriakanku Rana?

...

“Aku menangis terduduk ditempat itu. Ya, Rana... Nana waktu itu menangis.... Menangis karena penyesalan yang begitu menyakitkan. Lalu saat kuhampiri tempat kamu biasa menungguku, aku mendapati sapu tangan itu...”

Rana terdiam dan memandangku lama. “Lalu kertas itu? Terbangkah...,” Rana berisik pada dirinya sendiri.

“Bukankah kamu menyimpan batu diatasnya, Rana?”

Rana mengangguk.

“Sejak kecil... kamu memang pintar ya?” aku tertawa.

Rana memandangku lagi. Mengatakan ‘lalu?’ dalam diam.

“Kertas itu ada, tapi tulisannya... sudah hilang terhapus hujan....”

Rana memandangku terbeliak. Satu butir airmata jatuh cepat menuruni pipinya.

“Begitu...,” bisiknya parau.

Angin bersemilir. Memainkan rambutku, membisikkan rindu yang kian lama kian menggaung tak tertahan.

Aku berdiri tiba-tiba. Membuat wajah Rana mendongak dan matanya menumbruk mataku.

“Aku... harus pergi.” Tanpa menunggu jawaban Rana, aku berbalik dan pergi meninggalkannya.

“Harapan itu... apakah akan tetap jadi impian...”

Bisikan Rana mengantar kepergianku

Rindu yang kurasakan ini... masih bolehkah aku simpan?

* * *

Lagi-lagi aku tak bisa tidur. Padahal malam sudah merambat naik bahkan hampir menginjak dini hari.

Lanjutkan hubungan kalian. Aku menyukai Rana, karena aku tak tahu siapa dia. Setelah aku tahu, cinta itu telah terkikis habis. Jadi jangan memaksakan keinginnanmu, tapi ikutilah perasanmu...

Harapan itu... apakah akan tetap jadi impian...

Kau yakin bisa melupakannya?

Kalau begitu, kembalilah pada Rana, itu adalah kebahagianku

Apa kau bahagia?

Semua kata-kata itu terus berputar-puar dalam alam jiwaku. Alam pikiranku. Aku benar-benar bimbang. Disatu sisi, aku tak akan mungkin dapat melupakan Rana. Aku terlalu mencintainya. Tapi... bukankah aku telah mengambil janji?

Aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan. Padahal semua tengah menunggu keputusanku. Ya! Keputusan itu ada ditanganku!

Allah... bantu aku...

Akhirnya, aku meminta keputusanNYA. Karena DIA lebih tahu yang terbaik untuk kami bukan?

* * *

Rana

Hari minggu sore. Aku menghabiskannya dengan bersantai dirumah. Aku sedang menikmati hari-hari tanpa kesibukan. Setelah beberapa bulan menghabiskan waktu tanpa jeda, beristirahat tanpa kegiatan apapun ternyata sangat menyenangkan. Dan akan terus menyenangkan jika tidak ada sebuah telepon dari Krishna.

“Apa kamu menyukai Bernard?” tanyanya tiba-tiba, membuat emosiku tiba-tiba naik.

“Kenapa bertanya seperti itu?”

“Karena Bernard mengizinkan aku untuk menyukaimu.”

Apakah ini pertanda baik? “Lalu?” tanyaku.

“Bernard bilang, kebahagianmu adalah bersamaku. Tapi kupikir... akan lebih baik jika kau sendiri yang memilih.”

“Apa?” Krishna bodoh! Jelas-jelas aku hanya menyukainya!

“Senja ini, aku akan menunggumu ditempat yang biasa. Sedangkan Bernard, dia akan menunggumu diatas ketinggian, dimenara Masjid Raya. Adalah hak milikmu untuk memilih Rana...”

Lalu sambungan ditutup. Lama aku terpaku, sebelum akhirnya aku menyambar kunci mobil dan melarikan mobilku dengan kecepatan tinggi. Masih ada satu jam menuju batas waktu yang ditentukan. Tapi aku tak ingin sedikitpun kehilangan waktu untuk kuhabiskan tanpa Nana.

Dalam perjalanan, wajah Nana yang riang menguasai fikiranku, namun selintas, aku juga melihat wajah Bernard. Lalu lintasan-lintasan itu menjadi bayangan sempurna yang menyingkirkan bayangan Nana. Bayangan Bernard ketika ia memandangku, atau ketika ia bicara tegas disela-sela pekerjaannya. Apa artinya semua ini?

* * *

Pelataran Kasih XII (Luka Karena Ingkari Hati)

Krishna.

Aku berbalik. Berharap menangkap panorama wajahnya untuk terakhir kali. Tapi tidak. Dia tak lagi memandangku. Tubuhnya telah berbalik menatap senja. Aku tunggu ia menoleh sekian lama, tapi tak jua kudapat. Sampai harapanku habis, dan aku beranjak dengan langkah yang teramat berat.

Rana tengah berusaha melupakan aku...

Padahal, aku baru saja memberikan sapu tangan itu. Sapu tangan... benda itu telah menemaniku bertahun-tahun. Jadi tumpahan kerinduanku pada Rana, jadi teman kesedihanku, juga teman tertawa. Benda itu sudah seperti bagian dari tubuh dan hatiku. Sangat tidak mudah membuang benda itu dan menjauhkannya dari tanganku.

Tapi aku sudah membuat keputusan, dan sudah kuambil janji dengan mempertaruhkan kebahagianku sendiri. Tak mungkin mundur lagi.

“Aku mengerti...,” Rana membisikkan kata itu dihadapanku. Angin yang bersemilir lembut menyampaikan suara itu kegendang telingaku, lalu menembus hatiku.

Benarkah dia mengerti? Mengerti dengan janji yang telah kuambil? Mengerti dengan luka yang tengah kurasakan?

“Apa kau bahagia?” Jamie bertanya padaku suatu malam. Ditengah kesibukan semua orang. Ditengah keramaian. Semua orang tengah berkumpul, semua orang, keluarga, juga saudara. Mereka tengah membuka kado satu-persatu. Lalu tertawa membaca pesan yang tertulis didalamnya. Semua terlihat senang, apalagi Rere, wajah manjanya terlihat sangat bercahaya.

“Aku bahagia. Memangnya kenapa?” kataku balik bertanya. Aku mengatakan bahagia, sambil membayangkan wajah Bernard tadi siang. Dia datang dengan mengenakan setelan batik coklat muda. Tangannya menenteng satu kado berukuran besar.

“Apa isinya?” tanyaku sambil bersalaman menyambutnya. Dia tertawa sambil memelukku erat. Ini pertemuan kami yang pertama setelah ia menghindar dan bersembunyi. Apa Bernard telah melupakan kebohongan yang aku hadiahkan padanya?

“Rahasia,” katanya berbisik ditelingaku. “Kamu tahu, aku harus mutar-mutar kota untuk mencari hadiah yang tepat untuk mereka. Jadi aku tak akan mungkin mengatakan apa isinya sebelum bungkusnya tersingkap.” Bernard tertawa lagi. Tawanya terlihat tulus dan sungguh-sungguh. Tentu saja, Bernard tak seperti aku yang suka berbohong.

Aku menemaninya sampai ia pulang. Kami bicara banyak. Tapi dari sekian banyak pembicaraan itu, tak satupun nama Rana keluar dari mulut kami.

“Tidak apa-apa, hanya saja, matamu tak mengatakan begitu,” Jamie berkata lagi ditengah teriakan semua orang. Satu kado baru saja dibuka, dan isinya membuat mereka tertawa. Kado itu dari saudara sepupu-ku. Sebuah boneka beruang Tedi.

“Untuk Rere yang masih suka boneka,” seseorang membacakan pesan dikartu ucapan. Dan tawa terdengar riuh kembali, ditengah wajah Rere yang cemberut masam.

“Tak mungkin aku tak bahagia ditengah keriangan yang dirasakan semua orang,” kataku dengan roman wajah bertolak belakang dengan bahagia yang aku katakan.

“Lalu Rana?”

“Kenapa dengan Rana?” aku balik bertanya.

“Dia datang kan?”

“Memangnya dia tak mememuimu?”

“Tentu saja dia menemuiku. Akulah tujuannya datang kemari. Tapi apa kalian tak bertemu?”

“Tidak,” kataku. Aku berbohong lagi. Kami bertemu, bahkan berpapasan sangat dekat.
Rana datang tak seberapa lama setelah Bernard pulang. Rana tersenyum setelah kami sama-sama terpaku. Senyumnya seperti obat yang meringankan beban lukaku.

Seperti biasa, Rana terlihat sangat cantik. Gaun lebar berwarna hijau yang ia kenakan, membuat aura tubuhnya tambah bersinar.

“Kamu sangat berbeda,” kali ini Rana menahan senyumnya. Aku memperhatikan diriku sendiri. Sepatu hitam, kain batik coklat yang mengganti celana, baju jas dengan kancing berwarna emas, lengkap dengan sebuah rantai menjuntai dari saku, kemudian bendo. Benar-benar seperti orang sunda zaman baheula.

“Seperti seorang Wedana, sangat berwibawa.” Rana memandangku lekat.

“Terimakasih,” kataku, tak mampu mengucapkan kata lebih dari itu.

Aku bahagia beberapa saat, lalu kemudian terluka ketika aku ingat janjiku.

“Silakan,” aku mempersilahkan Rana masuk. Lalu berbalik manjauhi Rana. Jika aku berada didekatnya beberapa detik lebih lama, aku yakin, dia akan mengetahui luka yang tengah aku simpan.

“Dia sangat cantik,” kata-kata Jamie membuyarkan lamunanku.

“Oya?” kataku dingin.

“Kau yakin bisa melupakannya?”

“Kenapa tidak? Mudah saja.”

Jamie memandangku prihatin. Dia tahu apa isi hatiku sebenarnya.

“Sebentar lagi, aku akan menyusulmu menikah.” Aku beranjak diantar oleh tatapan Jamie.

“Aku akan melupakannya, aku akan menyusul Jamie menikah, dengan orang lain, bukan dengan Rana.” Aku mengucapkan kalimat itu berkali-kali. Mengucapkannya dalam kegamangan hati karena ketidak yakinanku akan kata-kataku sendiri.

* * *

Bernard

Rana membuka pintu ruanganku tanpa salam. “Aku ingin bicara,” katanya tegas.

“Silakan duduk,” kataku tanpa menoleh dari pekerjaanku. Tapi Rana tak menerima tawaranku.

“Kamu yang memecat mereka?”

“Satu orang yang bernama Linda dipecat. Delapan lainnya aku beri Surat Peringatan.”

“Jadi benar kamu. Kenapa?”

“Karena mereka bersalah.”

“Bersalah apa?”

“Hampir selama tiga bulan mereka tak melakukan pekerjaan.”

“Aku sudah minta kamu untuk tidak ikut campur kan?”

“Sayangnya, aku tak bisa memenuhi permintaan itu.”

“Jadi kamu mengingkari janji?”

“Aku tidak pernah berjanji. Lagipula, permasalahan ini tidak ada hubungannya dengan janji. Aku ingin bekerja secara profesional. Itu saja.”

Rana terdiam, dia tengah berusaha menekan amarahnya.

“Linda yang kamu pecat itu, suaminya telah meninggal, dia menghidupi orang tua dan ketiga anaknya.”

“Lalu?”

“Apa kamu tak punya perasaan sedikit saja?’

“Aku sudah memberinya kesempatan, dia tak menggunakan kesempatan itu dengan baik. Kerjaannya sangat buruk.”

“Sebelumnya pekerjaannya sangat baik, dia seperti itu hanya karena aku!”

“Dalam pekerjaan kita tak boleh mengikutkan perasaan!”

“Jadi karena itu kamu tega menghancurkan keluarganya?”

“Lebih baik mengorbankan satu keluarga, dari pada aku mengorbankan ratusan keluarga. Kamu tahu, perusahan sedang kolaps, salah satu sebabnya karena manajemen keuangan yang kurang baik. Kalau aku mempertahankan orang seperti Linda, itu berarti aku menghancurkan perusahaan. Itu juga berarti aku menghancurkan ratusan keluarga karyawan. Apa kamu berpikir sampai sejauh itu? Atau yang kamu pikirkan cuma dirimu sendiri?”

“Aku tidak memikirkan diriku sendiri!”

“Oya? Kuberitahu satu hal Nairana, mereka bukan anak kecil, yang dengan mudah kau bujuk hanya dengan kue. Mereka tak akan berubah dengan jalan semacam itu!”

Rana terdiam. Dia hampir menangis. Apa aku terlalu keras bicara? Memang itu yang kuinginkan.

“Satu hal lagi, aku tidak suka kebohongan!”

Rana menarik nafas panjang. Lalu berbalik dan pergi.

“Satu minggu lagi, Nanta akan menggantikanmu.”

Rana menahan langkahnya diambang pintu, pandangannya terpaku pada sesuatu. Sesuatu yang tak terlihat mataku.

“Krishna?”

Aku menatap Rana, tubuhku kaku seketika. Krishna? Krishna ada disini? Apa dia mendengar perkataan kasarku pada Rana?

“Maaf, aku ada perlu dengan Bernard,” suara Krishna mendekat kearah ruangan. Aku berlari menghampirinya.

“Krishna?”

Aku terpana, wajah Krishna menyiratkan sesuatu yang tak bisa kutafsirkan. Mungkin perasaan terluka karena aku, sahabat yang sangat ia percayai untuk menjaga orang yang ia kasihi, justru tengah memarahi Rana, perempuan searuh jiwanya yang ia serahkan padaku.

“Hai, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Nggak ganggu kan?”

Aku mengangguk.

* * *

Cafe masih sepi. Tentu saja, ini belum waktunya makan siang. Aku dan Krishna duduk berhadapan. Seorang pelayan meletakkan satu gelas jus kehadapan kami masing-masing.
Lalu setelah pelayan itu pergi, Krishna membuka percakapan.

“Aku sudah mengembalikan saputangan itu pada Rana. Kau tahu apa artinya?”

“Ya, aku tahu. Kamu telah melakukan tindakan bodoh.”

“Antara aku dan Rana tak ada apa-apa. Hubungan kami hanya sebatas kenangan masa kecil. Tak lebih dari itu?”

“Jadi penantian kalian hanya untuk sia-sia?” aku menyandarkan tubuhku, berusaha mengurai ketegangan yang mulai kurasakan.

“Tidak sia-sia. Kamu ingat, aku pernah bilang kan, aku menantinya bukan untuk memilikinya, tapi memastikan kebahagiannya.”

“Jadi?”

“Dia telah bahagia sekarang.”

“Darimana kamu tahu?”

“Dari pengamatanku.”

“Pengamatan yang mana?”

Krishna terdiam.

“Kamu ingin bilang, kalau dia sekarang punya aku. Dia akan bahagia disisiku, karena menurutmu, aku adalah lelaki yang sangat pantas untuk seorang Nairana. Benar kan, itu yang ingin kau katakan?”

“Aku yakin aku benar.”

“Sok tahu! Kamu pernah bilang, kalau aku terlalu memikirkan diriku sendiri, tapi kamu salah. Kamulah yang egois, yang hanya memikirkan dirimu sendiri.”

“Aku tidak begitu.”

“Kebahagian Rana yang kamu katakan, itu menurutmu. Tapi apa pernah kamu tanyakan, apa keinginannya? Apa yang membuat dia bahagia? Lalu aku, apa kau pernah bertanya padaku, apa aku akan bahagia bila aku mendampingi Rana?”

Krishna tersentak.

“Tidak kan? Kau tak pernah bertanya.”

Kami terdiam beberapa saat.

“Lanjutkan hubungan kalian. Aku menyukai Rana, karena aku tak tahu siapa dia. Setelah aku tahu, cinta itu telah terkikis habis. Jadi jangan memaksakan keinginnanmu, tapi ikutilah perasanmu...”

Krishna terdiam melihatku. Aku melihat harapan itu tumbuh jauh dari dalam matanya.
Krishna masih menyimpan cinta itu sekian lama dan sedemikian dalam. Berhakkah aku merebutnya? Padahal aku baru mencintainya tak lebih dari tiga bulan. Lagipula aku mencintainya karena aku melihat bayangan Shasha pada diri Rana. sedangkan Krishna, dia mencintai Rana karena dia memang Rana.

“Maafkan aku...,” bisik Krishna pelan.

“Dulu, aku marah padamu. Sangat! Tak ada yang paling aku tak suka salain dibohongi. Kamu tahu, aku seperti kerbau dicocok hidung, aku begitu menurut dan yakin dengan kata-katamu. Hah! Bodohnya aku...”

“Maaf...”

“Tak bisa, kecuali kalian mau bersama lagi.”

”Aku sudah berjanji. Pada diriku sendiri.”

“Janji apa?”

“Aku tak akan membuatmu menderita. Aku akan mengorbankan apapun untuk kebahagianmu.”

“Kalau begitu, kembalilah pada Rana, itu adalah kebahagianku.”

Krishna memandangku. Lalu aku tersenyum padanya, meyakinkan dirinya, bahwa tak ada luka yang tengah menggores batinku sekarang ini.

Krishna telah mengambil janji, dan aku telah mengambil keputusan. Lalu masalah ini akan selesai...

* * *

Krishna

Matanya berkaca. Senyumnya hilang dan tenggelam entah kemana. Dia tengah terluka, oleh banyak hal.

Aku melihat wajahnya seperti itu ketika ia keluar dari ruangan Bernard. sungguh, wajah Rana yang seperti itu sangat mengiris kalbuku. Sangat sakit.

Rana orang yang sangat peka, perasaannya sangat halus. Pemecatan yang dilakukan Bernard, membuat Rana merasa sangat bersalah. Membuatnya merasa tertekan. Apalagi perkataan yang dilontarkan Bernard terlalu menghimpit dadanya. Aku yakin, dengan berkata seperti itu sebenarnya Bernard juga tengah melukai dirinya sendiri.

Allah..., bukankah semua ini salahku? Bernard tak akan berkata begitu jika perasaannya pada Rana tak terlalu dalam. Dan masalah yang ditanggung Rana tak akan terlalu berat jika aku ada disisinya. Sebaliknya, aku malah melukai Rana dan menambah beban masalahnya semakin berat.

Allah..., maafkan aku. Jangan hukum aku dengan rasa bersalah yang menekan tak berkesudahan seperti ini. Aku mohon, maafkan aku...

Lift yang tengah kutungu terbuka. Dan tersibaklah sebuah wajah yang terus menguasai pikiranku. Wajah Rana. Seperti kemarin, wajah sendu itu belum berubah.

Rana melangkah keluar dengan pandangan mata tertuju padaku. Lalu kaki itu berhenti tepat dua meter didepanku.

“Tidak masuk?” katanya dengan senyum samar, setelah antara aku dan dia terdiam dan terpaku sedemikian lama. Setelah jiwa kami kembali menempati jasad ini dari terbang mengembara tak tentu rimba.

Tidak masuk? Tidak Rana. Tujuanku berdiri disini bukan untuk itu. Aku menunggumu sejak tadi. Sejak satu jam lalu. Sekali lagi, bukan untuk apa-apa. Hanya untuk menunggumu. Untuk apa menunggumu? Aku tak tahu. Mungkin sekedar ingin melihatmu.

“Aku...”

Jeda. Rana menungguku. Matanya hanya tertuju padaku. Sorot mata yang sama sejak dulu ketika ia menatapku. Sorot mata yang melambungkan harapanku. Namun sekarang, sorot mata itu membuat aku sulit bernafas.

“Semua hal yang terjadi... bukan salahmu. Berhentilah merasa bersalah...” Kata-kata yang kuucapkan itu begitu asing kudengar. Seperti bukan aku. Karena kata-kata itu seperti berat penuh beban. Apalagi intonasi yang menyertainya, menyiratkan sebuah tekanan yang amat sangat. Aku ingin membuatnya terasa normal. Tapi nyatanya aku tak bisa.

Tatapan Rana berubah takjub. Membuatku tahu, bahwa aku telah melakukan hal yang salah. Bahwa apa yang tengah aku lakukan sekarang ini, telah memberinya sebersit harapan. Kesadaran itu membuatku melangkahkan kaki meninggalkan Rana.

“Hanya itu?”

Pertanyaan Rana membuat langkahku terhenti dan menghadapkan kembali badanku menghadap Rana.

“Kamu berdiri disini... hanya untuk mengatakan itu?” Rana menahan tawanya.

Aku tak menjawab. Tak mengangguk atau menggeleng.

“Terimakasih...,” katanya.

“Kenapa?”

Rana tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan beranjak.

Sekarang, entah kenapa, keinginan untuk besamanya mencuat. Dan tak seperti biasanya, kali ini aku tak bisa menekan perasaan...

* * *

Bernard

Kenapa? Untuk apa kau bertanya itu Krishna? Bukankah jelas, dia berterimakasih untuk kata-kata yang kau ucapkan. Kata-kata itu telah membuat perasaannya membaik, dan lukanya tak terlalu perih. Kata-kata itu telah memberitahunya, kalau cinta yang kau pendam itu demikian besar dan dalam.

Bukan hanya memberi penjelasan padanya. Tapi juga padaku. Dari sini, dari atas tempat kalian berdiri, kamu memperkuat keyakinanku tentang semua itu.

Seandainya... kau memberitahuku lebih awal. Tidak, andai aku menyadarinya sejak awal....

Aku berbalik dan kembali menaiki tangga. Menuju ruanganku dua lantai dari sini. Aku mengurungkan niat untuk pulang awal. Ternyata... masih banyak yang harus kupikirkan...

* * *

Rana.

“Kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu dengan baik, Rana.” Pak Nanta duduk ditempat dudukku kemarin dulu. Ia menerima serah terima dariku dengan senyum yang mengembang. Sekarang semua sudah kembali pada tempatnya. Aku benar-benar lega. Tapi kalimat yang dilontarkan Pak Nanta membuat kelegaan itu berubah jadi kepenatan.

“Kenapa?”

“Aku tak menyelesaikan pekerjaanku dengan baik. Satu orang dipecat Bernard, dan beberapa orang diberi surat peringatan.”

“Dan kamu merasa bersalah?”

“Itu memang salahku.”

“Itu salah mereka.”

“Pak Nanta yang melaporkan pada Bernard kan?’

“Ya.”

“Kenapa?”

“Karena mereka sudah berlebihan, Rana.”

“Jadi Bapak membiarkan usahaku sia-sia.”

“Sia-sia? Tidak! Usahamu tidak sia-sia. Kalau tak salah, aku tak mendengar gosip itu berseliweran dimana-mana. Dan tadi, kulihat mereka menyapamu seperti biasa, benar kan? Bahkan delapan orang yang di-SP itu tersenyum dan menjabat tanganmu. Itu artinya mereka tak menyalahkanmu atas peringatan yang mereka dapatkan.”

“Tapi Linda dipecat.”

“Itu memang menyesalkan. Tapi, kita tak bisa menyalahkan Bernard atas apa yang dia lakukan. Bernard sudah memberi jarak dan jenak. Dia membiarkanmu menyaring orang yang tak sungguh-sungguh melawan perusahaan.”

“Menyaring?”

“Ya, teguranmu yang sangat halus, menyelamatkan beberapa orang yang akan dikeluarkan.”

“Tadinya bukan hanya Linda?”

“Lima orang. Dan kamu telah berhasil menyelamatkan yang empat orang.”

Sebuah berita mengejutkan membuatku terdiam.

“Jadi berhentilah menyalahkan Bernard. Ok?”

Aku tertawa. “Tidak, aku tidak lagi menyalahkan Bernard, tapi aku menyalahkan anda, Bos!”

Pak Nanta terbeliak, lalu aku tertawa dengan keras.

Lucu, padahal tadi malam, aku memutuskan untuk mengundurkan diri, karena perasaan bersalah ini. Apa surat pengunduran diri yang telah aku siapkan didalam tas ini kusobek saja? Atau tetap kuajukan? Karena satu masalah belum selesai. Masalah antara Krishna dan Bernard. Semuanya akan selesai jika aku tak ada bukan?

* * *

Pelataran Kasih XI (Awan Yang Tersibak)

Krishna

Kenyataan itu sudah terbuka. Baik Rana maupun Bernard, sudah sama-sama tahu kebohonganku.

Ini skenario Allah. Dia tak ingin aku berlama-lama bersembunyi dalam kepalsuan, berenang dalam luka.

Langit alam ini begitu gelap. Tak berhias bintang satu kerlip pun, tak bertamu bulan satu detik pun. Apakah alam ingin memperlihatkan kesedihan yang tengah aku tuai?

Aku menatap kembali ponsel yang telah satu jam ini menempel kuat dalam genggamku.
Kuhubungi Bernard untuk kesekian kali. Dan untuk kesekian kali juga aku tak menemukan jawaban. Apa Bernard mematikan Hpnya? Sengaja menghindar dari permohonan maafku? Apa dia tak tahu kalau aku tengah berkorban untuknya? Dan apa dia tahu bahwa pengorbanan ini begitu sakit? Atau justru itu yang dia tak mau? Dia tak ingin aku merasa kesakitan diatas kebahagiaannya?

Aku kembali menerawang. Kali ini aku melihat bayangan Rana tergambar dalam gelap kelam yang membentang. Mata hijaunya berair mata. Namun kali ini bahagia. Ya, dia bahagia bertemu denganku, itu artinya dia menyimpan harapan besar untuk namaku.
Bukankah itu juga kebahagiaan bagiku?

Saat itu, saat melihat bayangan Rana berwujud dihadapanku, sesuatu yang berat tiba-tiba mendesak dadaku. Melesak keluar dan meluap tak tertahan. Aku ingin memeluknya, dan mendekapnya hingga yakin, dia tak akan meningalkanku. Tapi sekali lagi, kerinduan yang menggunung itu hanya mampu melahirkan keinginan.

Bernard telah menahanku untuk tidak melakukan itu.

Ah, tidak. Bukan Bernard, tapi diriku sendiri. Aku telah mengambil janji, dan akan kutaati itu sebagaimana seorang laki-laki.

* * *

Bernard

Aku telah dikhianati. Bukan oleh Rana, juga bukan Krishna. Aku dikhinati diriku sendiri.

Krishna benar, aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri. Aku terlalu tak perduli dengan lingkungan yang tengah kuhinggapi. Aku terlalu memenuhi dunia dengan urusanku sendiri.

Peristiwa ini tak akan pernah terjadi jika sejak awal aku menyadari kenyataan. Padahal Allah sudah menunjukkan tanda-tanda itu supaya terlihat jelas dalam pandanganku. Tapi sekali lagi, aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri. Sampai-sampai aku tak menyadari, ada seorang Krishna yang tengah mengorbankan cintanya untukku. Dia telah mempertaruhkan cintanya untuk sebuah persahabatan. Taruhan yang teramat besar. Tapi apa dia tahu, kalau dengan cara seperti itu, justru akan sangat melukai batinku?

Ring tone Hp-ku berbunyi. Dari Krishna. Aku hanya memandang nama Krishna, mengejanya perlahan-lahan, sebelum akhirnya aku memijit tombol non-aktif. Setelah ini, Krishna pasti akan menghubungiku lagi. Aku belum siap. Aku belum siap menerima kebaikannya sedemikian rupa...

Seharusnya aku bahagia sekarang, ada seseorang yang mau berkorban demi kebahagianku. Tapi bukan bahagia yang kudapat, melainkan perih yang teramat sangat. Apakah semua ini karena aku telah melakukan kesalahan? Karena aku telah melupakan dosa yang kulakukan pada Shasha? Juga dosa yang kulakukan karena menyebabkan Rana menderita? Lalu, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan itu?

* * *

Rana duduk termenung mengamati senja, dan Krishna, dia berdiri jauh disisi taman mengamati Rana. Sedangkan aku, memandang mereka dengan kegetiran.

Apa yang sebenarnya telah terjadi? Bukankah seharusnya sekarang mereka merenda kasih dan menjalin tali perasaan yang sekian lama telah terputus? Apakah mereka masih menganggap aku berdiri diantara mereka? Menghalangi penyatuan mereka?
Suara telepon memalingkan pandanganku.

“Ada telepon dari Pak Nanta, Bapak mau menerimanya?” suara Jamie terdengar cepat.

“Sambungkan,” jawabku.

Lalu untuk beberapa jenak aku melupakan mereka. Melupakan perasaanku.

* * *

Rana

Nana sudah aku temukan. Bayangan yang telah sekian lama tak tersentuh itu kini sudah berwujud. Tapi aku masih disini, duduk menanti dalam pandangan senja.

Nana sudah aku temukan. Seharusnya aku bahagia. Tapi aku tak tahu, ada perasaan perih yang tergores begitu saja. Aku ingat perkataan Krishna suatu hari, “Kalau saja kamu menyakiti Bernard sedikit saja, aku orang pertama yang akan membunuhmu!”

Hubungan apa yang sebenarnya sudah terjalin antara mereka? Hubungan pertemanan? Atau lebih dari itu, hubungan persahabatan? Jika benar, alangkah indahnya... Tapi ironisnya, hubungan yang indah itulah yang tengah aku khawatirkan. Dan kekhawatiran itulah yang menyebabkan perih ini bersarang. Karena persahabatan bisa mengalahkan cinta, dan cinta selalu bertekuk tanpa syarat dibawah nama persahabatan, kala kedua perasaan itu berseteru.

Menurut perasaanku, hubungan seperti ini tengah merantai kami bertiga, menekan perasaan, mengekang jiwa dan pikiran.

Apakah Krishna juga akan mengalah pada Bernard, meski itu akan meruntuhkan bangunan harapannya? Harapan yang terbendung oleh waktu, asa yang terbendung oleh masa.
Hingga ketika waktu itu mulai terulur, dan masa yang memisahkan telah mendekat, kerinduan yang tertahan itu membuncah dan meluap keluar melewati pancaran matanya, melewati pori-pori kulitnya....

Seandainya saat dimobil itu, saat dia mengantarku, saat ia melihat mataku, saat ia menyadari siapa diriku, aku dapat menangkap pancaran kerinduan itu, mungkin harapan hati itu akan sangat besar. Tapi waktu tak akan kembali. Jadi biarkan aku tetap menanti, seperti ini. Meski dengan, atau tanpa harapan...

Sebuah langkah berhenti tepat dibelakangku. Krishna, aku tahu itu dia, meski sedikitpun aku tak melihat kearahnya.

Untuk apa ia kemari? Untuk memenuhi janji yang telah ia ingkari? Atau untuk melihat dan mengamati lalu berbalik pergi lagi? Seperti kemarin, dan kemarin?

Setelah hari itu antara aku dan Krishna, seperti aku dengan seseorang yang tak pernah kenal. Ketika kami akan bertemu dan melewati jalan yang sama, Krishna akan lekas menghindar dan mengambil jalan lain. Sangat menyakitkan. Kurasa akan lebih baik jika dia memarahiku dan memusuhiku seperti sebelumnya daripada begini. Tak ada yang bisa kulakukan selain menunggunya. Setiap senja, seperti ini. Dan Krishna, tak ada yang dia lakukan selain mengamatiku dari jauh.

Aku membiarkannya begitu, memberinya waktu untuk mengambil keputusan, memberinya waktu untuk memilih. Aku, atau Bernard.

Jadi, jika sekarang langkahnya telah mendekat, apakah itu artinya, keputusan sudah diambil?

“Apakah keputusan sudah lahir?” tanyaku sambil berbalik kearahnya. Menatap wajahnya, ada perasaan yang tiba-tiba menghentak. Allah..., bantu aku menahan luapan ini... luapan rindu yang lama tertahan, kini tiba-tiba mendesak keluar.

Setelah memandangku sekian lama, dengan mata sendunya, Krishna mengambil sapu tangan dan meletakkannya diatas kursi kayu, dengan posisi dan tempat yang persis sama dengan saat aku meletakkannya dulu. Setelah itu, Krishna menjauhkan tangannya dengan tarikan nafas panjang, seolah baru saja usai melakukan suatu pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa.

Dadaku sesak. Aku tahu itu artinya apa. Harapan yang telah membuatku bertahan selama ini terbang seketika. Terbang sambil mencerabut segumpal nyawa yang memberiku hidup.

“Maaf...,” lirihnya pelan.

Aku ingin marah, atau menangis keras. Tapi dari kedua pilihan itu, tak satupun yang kulakukan. Aku hanya mengatakan; “Aku mengerti...,” dengan suara sangat-sangat pelan, hampir-hampir saja, telingaku sendiri tak mendengarnya.

Setelah itu tak ada lagi kata. Aku hanya memandang punggungnya menjauh sembari menunggu wajahnya berbalik dan menatapku dengan berat. Tak sampai ia menghilang dari pandangan, aku sudah berbalik menatap matahari. Apa aku masih berhak memandangnya dengan kasih? Karena mungkin, Krishna tak akan lagi memandangku dengan rindu...

* * *

“Apa kamu memang mengerti dengan jalan yang diambil Krishna?” Jamie menemuiku suatu senja, dikursi taman tempat aku memandang harapan.

“Aku tak tahu,” jawabku jujur. “Jika kamu jadi Krishna, apa yang akan kamu lakukan?”

Jamie terdiam. Dia menatap matahari, seperti aku menatapnya. Mungkin ia mencari jawaban dari sebuah pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Ia bukan Krishna.

“Dulu, Krishna juga bertanya seperti itu padaku.”

“Jawabanmu?”

“Aku tak menjawab.”

“Kenapa?”

“Karena aku tak tahu.”

“Jika aku jadi Krishna.... aku juga akan memilih Bernard.”

Refleks Jamie melihatku, lalu hening.

“Kamu juga kan?” aku balik menatapnya.

Jamie mengangguk dengan ragu.

Pukul 05. sore. Aku berdiri dan beranjak. Karena itulah batas waktu terakhir aku menunggu Krishna.

“Kau selalu pulang jam segini?” pertanyaan Jamie menahan langkahku. Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan. Sebuah anggukan yang mendatangkan tawa pahit dari bibir Jamie. Aku tak mengerti, tapi aku tak ingin menyela.

“Ini skenario yang diatas....” katanya disela mata yang berkaca. “Kamu tahu?” lanjutnya, “Krishna selalu datang tepat disaat kau pergi. Setiap hari.”

Kini tawa pahit itu berpindah padaku.

“Krishna bodoh! Setiap hari selama bertahun-tahun, dia selalu telat...”

“Tapi bukan lagi karena bola,” Jamie tertawa.

“Oya? Dia sekarang tak suka bola?” aku ikut tertawa.

“Kamu tahu Zinedine Zidane?”

Aku menganggukkan kepala.

“Tanyakan pada Krishna. Dia akan menggelengkan kepala...”

Lalu kami tertawa bersama.

...

“Satu minggu lagi... kamu jadi suami ya... Kapan mulai cuti?”

“H-1”

“Jadi Workaholic? Tertular Bernard?”

Jamie tertawa lepas. “Datang ya?”

“Krishna tak mengundangku.”

“Kalau begitu, aku yang mengundangmu. Aku meminta kesedianmu langsung lho! Datang ya?”

Aku tersenyum, meski berat. Bukankah nanti aku akan bertemu Krishna?

* * *

Senin, 15 November 2010

Pelataran Kasih XI (Biarkan Aku Mengambil Janji)

Krishna

Kenyataan itu sudah terbuka. Baik Rana maupun Bernard, sudah sama-sama tahu kebohonganku.

Ini skenario Allah. Dia tak ingin aku berlama-lama bersembunyi dalam kepalsuan, berenang dalam luka.

Langit alam ini begitu gelap. Tak berhias bintang satu kerlip pun, tak bertamu bulan satu detik pun. Apakah alam ingin memperlihatkan kesedihan yang tengah aku tuai?

Aku menatap kembali ponsel yang telah satu jam ini menempel kuat dalam genggamku.
Kuhubungi Bernard untuk kesekian kali. Dan untuk kesekian kali juga aku tak menemukan jawaban. Apa Bernard mematikan Hpnya? Sengaja menghindar dari permohonan maafku? Apa dia tak tahu kalau aku tengah berkorban untuknya? Dan apa dia tahu bahwa pengorbanan ini begitu sakit? Atau justru itu yang dia tak mau? Dia tak ingin aku merasa kesakitan diatas kebahagiaannya?

Aku kembali menerawang. Kali ini aku melihat bayangan Rana tergambar dalam gelap kelam yang membentang. Mata hijaunya berair mata. Namun kali ini bahagia. Ya, dia bahagia bertemu denganku, itu artinya dia menyimpan harapan besar untuk namaku.
Bukankah itu juga kebahagiaan bagiku?

Saat itu, saat melihat bayangan Rana berwujud dihadapanku, sesuatu yang berat tiba-tiba mendesak dadaku. Melesak keluar dan meluap tak tertahan. Aku ingin memeluknya, dan mendekapnya hingga yakin, dia tak akan meningalkanku. Tapi sekali lagi, kerinduan yang menggunung itu hanya mampu melahirkan keinginan.
Bernard telah menahanku untuk tidak melakukan itu.

Ah, tidak. Bukan Bernard, tapi diriku sendiri. Aku telah mengambil janji, dan akan kutaati itu sebagaimana seorang laki-laki.

* * *

Bernard

Aku telah dikhianati. Bukan oleh Rana, juga bukan Krishna. Aku dikhinati diriku sendiri.

Krishna benar, aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri. Aku terlalu tak perduli dengan lingkungan yang tengah kuhinggapi. Aku terlalu memenuhi dunia dengan urusanku sendiri.

Peristiwa ini tak akan pernah terjadi jika sejak awal aku menyadari kenyataan. Padahal Allah sudah menunjukkan tanda-tanda itu supaya terlihat jelas dalam pandanganku. Tapi sekali lagi, aku terlalu asyik dengan duniaku sendiri. Sampai-sampai aku tak menyadari, ada seorang Krishna yang tengah mengorbankan cintanya untukku. Dia telah mempertaruhkan cintanya untuk sebuah persahabatan. Taruhan yang teramat besar. Tapi apa dia tahu, kalau dengan cara seperti itu, justru akan sangat melukai batinku?

Ring tone Hp-ku berbunyi. Dari Krishna. Aku hanya memandang nama Krishna, mengejanya perlahan-lahan, sebelum akhirnya aku memijit tombol non-aktif. Setelah ini, Krishna pasti akan menghubungiku lagi. Aku belum siap. Aku belum siap menerima kebaikannya sedemikian rupa...

Seharusnya aku bahagia sekarang, ada seseorang yang mau berkorban demi kebahagianku. Tapi bukan bahagia yang kudapat, melainkan perih yang teramat sangat. Apakah semua ini karena aku telah melakukan kesalahan? Karena aku telah melupakan dosa yang kulakukan pada Shasha? Juga dosa yang kulakukan karena menyebabkan Rana menderita? Lalu, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan itu?

* * *

Rana duduk termenung mengamati senja, dan Krishna, dia berdiri jauh disisi taman mengamati Rana. Sedangkan aku, memandang mereka dengan kegetiran.

Apa yang sebenarnya telah terjadi? Bukankah seharusnya sekarang mereka merenda kasih dan menjalin tali perasaan yang sekian lama telah terputus? Apakah mereka masih menganggap aku berdiri diantara mereka? Menghalangi penyatuan mereka?
Suara telepon memalingkan pandanganku.

“Ada telepon dari Pak Nanta, Bapak mau menerimanya?” suara Jamie terdengar cepat.

“Sambungkan,” jawabku.

Lalu untuk beberapa jenak aku melupakan mereka. Melupakan perasaanku.

* * *

Rana

Nana sudah aku temukan. Bayangan yang telah sekian lama tak tersentuh itu kini sudah berwujud. Tapi aku masih disini, duduk menanti dalam pandangan senja.

Nana sudah aku temukan. Seharusnya aku bahagia. Tapi aku tak tahu, ada perasaan perih yang tergores begitu saja. Aku ingat perkataan Krishna suatu hari, “Kalau saja kamu menyakiti Bernard sedikit saja, aku orang pertama yang akan membunuhmu!”
Hubungan apa yang sebenarnya sudah terjalin antara mereka? Hubungan pertemanan? Atau lebih dari itu, hubungan persahabatan? Jika benar, alangkah indahnya... Tapi ironisnya, hubungan yang indah itulah yang tengah aku khawatirkan. Dan kekhawatiran itulah yang menyebabkan perih ini bersarang. Karena persahabatan bisa mengalahkan cinta, dan cinta selalu bertekuk tanpa syarat dibawah nama persahabatan, kala kedua perasaan itu berseteru.

Menurut perasaanku, hubungan seperti ini tengah merantai kami bertiga, menekan perasaan, mengekang jiwa dan pikiran.

Apakah Krishna juga akan mengalah pada Bernard, meski itu akan meruntuhkan bangunan harapannya? Harapan yang terbendung oleh waktu, asa yang terbendung oleh masa.
Hingga ketika waktu itu mulai terulur, dan masa yang memisahkan telah mendekat, kerinduan yang tertahan itu membuncah dan meluap keluar melewati pancaran matanya, melewati pori-pori kulitnya....

Seandainya saat dimobil itu, saat dia mengantarku, saat ia melihat mataku, saat ia menyadari siapa diriku, aku dapat menangkap pancaran kerinduan itu, mungkin harapan hati itu akan sangat besar. Tapi waktu tak akan kembali. Jadi biarkan aku tetap menanti, seperti ini. Meski dengan, atau tanpa harapan...

Sebuah langkah berhenti tepat dibelakangku. Krishna, aku tahu itu dia, meski sedikitpun aku tak melihat kearahnya.

Untuk apa ia kemari? Untuk memenuhi janji yang telah ia ingkari? Atau untuk melihat dan mengamati lalu berbalik pergi lagi? Seperti kemarin, dan kemarin?

Setelah hari itu antara aku dan Krishna, seperti aku dengan seseorang yang tak pernah kenal. Ketika kami akan bertemu dan melewati jalan yang sama, Krishna akan lekas menghindar dan mengambil jalan lain. Sangat menyakitkan. Kurasa akan lebih baik jika dia memarahiku dan memusuhiku seperti sebelumnya daripada begini. Tak ada yang bisa kulakukan selain menunggunya. Setiap senja, seperti ini. Dan Krishna, tak ada yang dia lakukan selain mengamatiku dari jauh.

Aku membiarkannya begitu, memberinya waktu untuk mengambil keputusan, memberinya waktu untuk memilih. Aku, atau Bernard.

Jadi, jika sekarang langkahnya telah mendekat, apakah itu artinya, keputusan sudah diambil?

“Apakah keputusan sudah lahir?” tanyaku sambil berbalik kearahnya. Menatap wajahnya, ada perasaan yang tiba-tiba menghentak. Allah..., bantu aku menahan luapan ini... luapan rindu yang lama tertahan, kini tiba-tiba mendesak keluar.

Setelah memandangku sekian lama, dengan mata sendunya, Krishna mengambil sapu tangan dan meletakkannya diatas kursi kayu, dengan posisi dan tempat yang persis sama dengan saat aku meletakkannya dulu. Setelah itu, Krishna menjauhkan tangannya dengan tarikan nafas panjang, seolah baru saja usai melakukan suatu pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa.

Dadaku sesak. Aku tahu itu artinya apa. Harapan yang telah membuatku bertahan selama ini terbang seketika. Terbang sambil mencerabut segumpal nyawa yang memberiku hidup.

“Maaf...,” lirihnya pelan.

Aku ingin marah, atau menangis keras. Tapi dari kedua pilihan itu, tak satupun yang kulakukan. Aku hanya mengatakan; “Aku mengerti...,” dengan suara sangat-sangat pelan, hampir-hampir saja, telingaku sendiri tak mendengarnya.

Setelah itu tak ada lagi kata. Aku hanya memandang punggungnya menjauh sembari menunggu wajahnya berbalik dan menatapku dengan berat. Tak sampai ia menghilang dari pandangan, aku sudah berbalik menatap matahari. Apa aku masih berhak memandangnya dengan kasih? Karena mungkin, Krishna tak akan lagi memandangku dengan rindu...

* * *

“Apa kamu memang mengerti dengan jalan yang diambil Krishna?” Jamie menemuiku suatu senja, dikursi taman tempat aku memandang harapan.

“Aku tak tahu,” jawabku jujur. “Jika kamu jadi Krishna, apa yang akan kamu lakukan?”

Jamie terdiam. Dia menatap matahari, seperti aku menatapnya. Mungkin ia mencari jawaban dari sebuah pertanyaan yang tak mungkin ia jawab. Ia bukan Krishna.

“Dulu, Krishna juga bertanya seperti itu padaku.”

“Jawabanmu?”

“Aku tak menjawab.”

“Kenapa?”

“Karena aku tak tahu.”

“Jika aku jadi Krishna.... aku juga akan memilih Bernard.”

Refleks Jamie melihatku, lalu hening.

“Kamu juga kan?” aku balik menatapnya.

Jamie mengangguk dengan ragu.

Pukul 05. sore. Aku berdiri dan beranjak. Karena itulah batas waktu terakhir aku menunggu Krishna.

“Kau selalu pulang jam segini?” pertanyaan Jamie menahan langkahku. Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan. Sebuah anggukan yang mendatangkan tawa pahit dari bibir Jamie. Aku tak mengerti, tapi aku tak ingin menyela.

“Ini skenario yang diatas....” katanya disela mata yang berkaca. “ Kamu tahu?” lanjutnya, “Krishna selalu datang tepat disaat kau pergi. Setiap hari.”
Kini tawa pahit itu berpindah padaku.

“Krishna bodoh! Setiap hari selama bertahun-tahun, dia selalu telat...”

“Tapi bukan lagi karena bola,” Jamie tertawa.

“Oya? Dia sekarang tak suka bola?” aku ikut tertawa.

“Kamu tahu Zinedine Zidane?”

Aku menganggukkan kepala.

“Tanyakan pada Krishna. Dia akan menggelengkan kepala...”

Lalu kami tertawa bersama.

...

“Satu minggu lagi... kamu jadi suami ya... Kapan mulai cuti?”

“H-1”

“Jadi Workaholic? Tertular Bernard?”

Jamie tertawa lepas. “Datang ya?”

“Krishna tak mengundangku.”

“Kalau begitu, aku yang mengundangmu. Aku meminta kesedianmu langsung lho! Datang ya?”

Aku tersenyum, meski berat. Bukankah nanti aku akan bertemu Krishna?

* * *

Pelataran Kasih X (Awan Yang Tersibak)

Awan Yang tersibak

Rana

Aku melongokkan kepala kedalam ruangan yang terlihat sepi. Kalau tak salah, memang ini ruangannya. Ruanngan kerja Dimas. Ada beberapa berkas yang harus kusampaikan segera pada Pak Nanta. Dia bilang, rumahnya dilewati Dimas setiap hari. Berkas ini bisa dititipkan padanya supaya sampai lebih cepat.

Agak jengah sebetulnya. Aku lebih suka kalau aku mengutus orang lain yang kemari. Soalnya, Dimas kan satu ruangan dengan Krishna. Aku tak mau bertemu dengannya. Sudah cukuplah, perlakukan ketus yang dilontarkan anak-anak buahku sendiri padaku, tak perlu ditambah Krishna. Tadinya kupikir dia sudah berubah ramah. Nyatanya, Krishna tetaplah Krishna. Benar-benar membingungkan.

“Cari siapa?” seseorang menepukku dari belakang.

“Oh, eh... cari Pak Dimas!” kataku tak bisa menutup rasa malu.

“Bu Nai ya? Ada perlu apa sama saya?” Dimas tertawa.

“Nitip ini buat Pak Nanta. Beliau bilang, rumahnya dilewati oleh bapak. Benar ya?”

Dimas, yang kutaksir seumuran Krishna, mengangguk sambil tersenyum.

“Sini, dijamin sampai dengan cepat dan tanpa cacat.” Dimas menngambil alih berkas yang cukup tebal.

“Maaf, merepotkan.”

“Ah, kalau untuk Pak Nanta sih, tak masalah! Tapi kenapa tidak menyuruh Hani saja?”

“Ah, dia saya minta mengerjakan hal lain.”

“Kalau orang lain?”

Dimas membaca kebimbangan dalam wajahku. Dia mengerti, aku tak mungkin menyuruh orang lain selain Hani. Masalah tentang aku kan sangat populer dikantor ini.

“Maksud saya, kamu kan bisa manggil saya?”

“Masa yang minta tolong manggil yang mau nolong sih!” aku tertawa, menutupi kekakuan yang tiba-tiba tercipta.

“Terimakasih, ya.” Aku segera pamit, mumpung belum bertemu Krishna.

Aku berjalan cepat meninggalkan ruangan itu. Kalau sampai bertemu Krishna, bisa bertengkar lagi deh! Aku lagi malas.

Langkahku yang terburu-buru tiba-tiba terhenti seketika. Sebuah benda didekat vas bunga menarik perhatianku. Perlahan aku menghampirinya. Tak salah, benda ini milik Bernard. Bahkan setelah aku memungutnya dan memperhatikannya seksama. Benda ini memang miliknya.

Aku menggeleng-gelengkan kepala pelan. Bernard itu... kelihatannya memang sangat sempurna, tapi sebenarnya dia sangat ceroboh...

* * *

“Pak Bernard bilang, langsung saja,” kata Jamie sembari menutup telepon. Aku berjalan beberapa langkah mnuju pintu ruangan Bernard. Bernard mempersilahkanku masuk sebelum aku sempat mengetuknya..

“Ada sesuatu yang penting?” tanyanya to the point. Seperti biasanya. Padahal waktu kecil dulu, dia tak seperti ini. Meski memang, sekarang ada yang mulai berubah.
Dulu, dia akan bertanya seperti itu sambil menghadap pada layar komputernya. Sekarang, dia berdiri sambil sedikit menyandarkan tubuhnya pada mejanya yang kokoh. Dia sengaja menyambutku.

“Kamu itu, kelihatannya saja sangat sempurna, tapi ternyata cerobohnya minta ampun!” aku bersidekap dada, berdiri beberapa langkah darinya.

Bernard mengerutkan keningnya.

“Coba deh, raba semua saku, apa ada sesuatu yang hilang?”

Bernard mengikuti saranku. Dirabanya semua saku. Mulai dari saku kemeja, lalu saku
celana bagian depan dan belakang. “Apa?” tanya Bernard akhirnya.

“Nih!” aku menyerahkan saputangan berwarna pink itu kehadapannya. “Lain kali, barang sepenting ini jangan dibiarkan jatuh sembarangan! Untung yang menemukannya aku. Kalau orang lain, bisa langsung membuangnya tahu nggak!”

Bernard tak bergerak. Matanya terpaku pada sapu tangan ditelapak tanganku. Dia benar-benar membeku.

“Bernard?’ tanyaku meyakinkan kesadarannya.

Diluar dugaan, dia membuang nafas cepat. Muka putihnya tiba-tiba memerah.
“Hh! Ternyata begitu... kenapa selama ini aku...”

“Bernard? Kenapa?”

“Jadi ini maksud dari kata-katamu? ‘Kamu memang selalu nyusahin aku’, ‘Sejak dulu kamu memang tak berubah’, ‘Kamu terus-terusan bikin aku menunggu,’ ... terus apa lagi? O ya, 'kamu masih suka bola?”

“Bernard?” aku semakin tak mengerti dengan sikapnya.

“Bola... bola...,” Bernard bicara pada dirinya sendiri. “Kenapa aku begitu bodoh, Rana? kenapa aku begitu bodoh?” Bernard tertawa pahit.

“Bernard? Sebenarnya ada apa?”

“Ada apa?” Bernard memandangku. Matanya berkaca, dan kaca itu hampir-hampir saja terpecah berserakan, dan melukai jiwanya. Aku mulai menduga-duga...

“Sapu tangan itu milik Nana kan?” Bernard balik bertanya. Dan aku mengiyakan dengan anggukan kecil.

“Dia di ruang ilustrator, bagian buku anak. Berikan sendiri benda itu padanya. Dia pasti sedang mencarinya sekarang.” Bernard menyambar jas yang tergantung disandaran kursi, kemudian ia memakainya sembari beranjak.

“Jadi Nana itu bukan kamu...,” kataku pada diri sendiri. Mencoba mengutarakan prasangka yang mulai tak kukuasai.

“Krishna. Pemilik sapu tangan itu Krishna.” Dan setelah itu Bernard benar-benar berlalu.

Aku terduduk disofa terdekat. Lemas. Sekarang awan itu telah tersibak. Mentari senja telah jelas terlihat. Dan suara itu terus meraung-raung dalam rongga dadaku.

Krishna. pemilik saputangan itu Krishna...

Allah... aku telah salah menyimpulkan, apa yang harus kulakukan?

Suara seseorang yang membuka pintu membuat tanganku refleks mengusap air mata.

“Rana, kamu baik-baik saja?” Jamie berjalan mendekat kearahku. “Maaf, tapi aku melihat Pak Bernard tak seperti biasanya. Apa kalian bertengkar?” Jamie duduk dihadapanku. Air mukanya berubah ketika melihat sapu tangan yang tengah erat kugenggam. Melihat Jamie seperti itu, pertahananku untuk bersembunyi hancur sudah. Air mataku beruraian dihadapannya.

“Kenapa tak kamu bilang sejak awal? Kamu tahu kenyataan ini sejak dulu kan? Atau kamu memang sudah bersekongkol dengannya? Dengan laki-laki itu? Dengan Krishna? Dengan Nana?”

“Maaf...”

“Kenapa? Kenapa dia tak bilang sejak dulu. Sejak dilift itu, sejak ia melihat diriku yang sebenarnya. Sejak ia menyadri kalau aku adalah Rana yang tengah dicarinya...”

Jamie hanya terdiam.

“Mencari...? Jamie, apa Krishna mencariku selama ini?”

“Krishna duduk menatap senja. Setiap hari...”

Seribu sembilu tiba-tiba menusuk jantungku. Membuatku tak bisa lagi merasakan desah nafasku.

Tak lagi kulihat Jamie. Yang ada dalam pandanganku sekarang hanyalah Krishna. Krishna dengan bola mata berbinar, tengah mengulurkan tangannya padaku.
Aku berdiri, lalu melangkah menjauhi Jamie.

Aku harus menggenggam bayangan yang selama ini merajai mimpi-mimpiku.

* * *

Jam istirahat baru dimulai sepuluh menit yang lalu. Tapi laki-laki itu belum satu sentipun keluar dari ruangannya.

“Ah! Dimana sih?” tubuh itu membungkuk dibawah meja.

“Dikoridor tidak ada, disini juga tidak ada! Tunggu... waktu dipanggil tadi, aku sedang megang itu, lalu kusimpan dimana ya?” dia berdiri dan berpikir beberapa saat. “Aaarrgghhh!!! Bagaimana sih aku ini!”

Aku memperhatikannya diam-diam. Atau lebih tepatnya mengintip? Ah terserah. Yang pasti, aku tak mau melepaskan pandanganku. Menyamakan Krishna dengan Nana yang nakal itu. Kalau diperhatikan, memang sangat mirip. Bahkan sikapnya pun, memang sikap Nana yang dulu. Ah, kenapa selama ini aku buta? Tidak, aku tidak buta. Aku hanya terlalu bahagia karena menemukan sesuatu yang menyempurnakan nyawaku. Ya, aku terlalu bahagia, jadi buta.

Tapi sekarang, aku tak mungkin salah lagi.

“Mencari ini?” aku mendekati tubuh Krishna yang masih membungkuk.

“Oh, God! Terimakasih banget. Aku udah nyari ini dari tadi tahu nggak? Jangan...”
Krishna mengambil saputangan dari tanganku dengan cepat. Lalu kata-katanya berhenti diudara, ketika dia menatap si pemilik tangan. Aku.

“Jangan apa? Jangan bilang siapa-siapa?” aku tersenyum padanya. Sungguh! Anganku sudah meloncat kearah Krishna dan memeluk erat tubuhnya. Benarkah ini Nana? Benarkah aku sudah menemukan Nana? Tapi jasadku hanya diam membeku. Menatapnya tengah terpaku, semakin membuat perasaanku bergolak, namun lemas. Aku terlalu bahagia. Jadi mukamu memerah, dan aku mulai menangis. Menangis sembari tersenyum.

“Rana?” suara Krishna terdengar pelan.

Aku mengangguk. “Ya, aku Rana. Nairana. Yang dulu menunggumu sampai tiga jam.” Aku tertawa, sambil beruraian airmata. Inikah saatnya? Inikah saatnya aku menumpahkan kerinduan yang lama terpendam?

“Oh, sapu tangan ini... dia memang ceroboh ya?” Krishna menimang-nimang saputangan itu. “ Kemarin, aku memungut benda ini, ya... karena aku tahu kalau dia memang ceroboh. Lalu tadi pagi, saat aku mau balikin ini kedia, aku dipanggil bos. Dimas bilang, bos mau negur aku karena kerjaanku nggak beres. Jadi aku panik, Ran. Aku lupa deh sama sapu tangan ini. Jangan marah sama aku ya, ini salah Dimas. Dia yang bikin aku panik. Padahal tahu nggak? Bos mala ngasih aku kerjaan lagi. Tebak! Dua buku!” Krishna mengacungkan dua jari tangannya kewajahku. “Biar kuberikan pada Bernard,” katanya mengakhiri ceracaunya yang tak jelas.

“Bernard yang memberitahuku siapa pemilik saputangan itu.”

Langkah Krishna terhenti. Tubuhnya berbalik dan menatapku masygul.

“Bernard?”

Aku mengangguk.

“Tapi...”

“Aku yang menemukan sapu tangan itu. Lalu aku memberikannya pada Bernard, karena kupikir Nana itu... Hah! Bodohnya aku!” aku menutup mukaku sambil mengusap air mata. “Kumohon Nana..., jangan berbohong lagi, Jangan membuatku menunggu lagi...”
Krishna menatapku lama, lalu beranjak pergi...

* * *

Pelataran Kasih IX (Cinta Yang Menggeliat)

Cinta yang Menggeliat

Krishna

Apa aku gila? Aku memata-matai mereka yang tengah bicara. Apa aku gila telah melakukan hal demikian rupa? Aku telah cemburu. Bernard menggantikan posisiku memandangi senja bersamanya. Bukankah seharusnya aku yang berada disampingnya saat itu? Kenapa Rana tak menyadarinya? Kenapa Rana tak mengerti sama sekali bahwa dia telah salah orang? Lalu kenapa Bernard tak merasa, kalau Rana bukan memandangnya, tapi memandang bayangan yang tengah hilang bertahun silam? Bahwa Rana memandangnya hanya karena mengira kalau dirinya adalah orang lain!

Aku terluka. Hatiku berdarah. Seperti diseret berpuluh-puluh kilometer diatas dataran berbatu dibawah terik matahari. Dan yang menyeretku adalah dua orang yang sangat kukasihi dan kupercayai. Tapi bukankah aku sendiri yang memutuskan begitu? Aku sendiri yang memang ingin diperlakukan seperti itu? Ah!

Sebuah suara ring tone menghentak lamunanku. Aku mengambilnya, lalu tanganku bergetar dan lemas ketika nama Bernard terbaca mataku.

Butuh waktu beberapa detik untuk memulai percakapan, untuk menetralisir perasaan.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam. Krishna?”

“Ya. Ngapain sih malam-malam telpon?” aku menekan hatiku, mencoba bersikap biasa
meski dengan separuh nyawa. Apa dipendengaran Bernard suaraku terdengar normal?

“Sory, aku butuh saranmu lagi. Aku tak tahu harus mengajak siapa untuk bicara. Untuk ditunda sampai besokpun, rasanya tak bisa. Maaf, kau sudah tidur ya?”

“Ya udah, ngomong aja!”

“Tentang Rana.”

Diam sejenak.

“Kenapa dengan dia?”

“Dia berterimakasih, karena saranmu waktu itu.”

“Kamu bilang itu saranku?”

“Ya.”

“Ah, bodoh! Kenapa tak bilang itu memang keluar dari hatimu?”

“Kupikir...”

“Ah, sudahlah. Lalu apa?”

“Bukan apa-apa.”

“Kenapa telepon aku?” aku mulai berteriak. Sekali lagi aku bertanya pada hatiku,
apa dipendengarannya sikapku seperti biasa?

“Aku hanya merasa, Rana melihatku seperti melihat orang lain.”

Aku tersentak. Apa Bernard mulai menyadari sesuatu?

“Krishna?”

Aku tersentak lagi. “Ya, aku masih nyambung. Terusin aja!”

“Dia sering mengatakan... selalu, masih, terus. Bukankah semua kata itu diucapkan
untuk perbuatan yang berulang? Bahkan suatu kali dia jelas-jelas mengatakan ‘sejak dulu’.”

“Sejak dulu?” gejolak dalam dadaku mulai tak tertahan.

“Ya, dia bilang, sejak dulu aku memang selalu menyusahkannya. Bagaimana menurutmu?”

Aku diam lagi. Menyelamai jiwaku, menenangkan golakan perasaanku.

“Krishna? tidur?”

“Bukan tidur, mikir tahu!”

“Oh, sory... Jadi bagaimana?”

“Mh..., tak apa kan?”

“Tak apa bagaimana? Kalau dia memandangku seperti orang lain, bukankah itu artinya
dia bukan menyukai aku, tapi menyukai bayangan yang menyertaiku?”

“Kamu ini...., bukannya kamu juga menyukai Rana karena kamu melihat bayangan Shasha selalu menyertainya?”

Tak ada suara. Mungkin Bernard tersentak dengan kata-kataku. Aku membiarkannya. Toh aku juga butuh beberapa saat untuk bernafas panjang.

“Aku...,” suara Bernard terdengar parau. Apa kata-kataku melukainya?

“Maksudku begini Bernard, dia mungkin punya kenangan dengan seseorang yang mirip kamu dulu, entah bagaimana, mereka tak bersama lagi. Lalu dia melihatmu. Tapi bukan berarti dia tak akan mencintaimu, bukan berarti dia akan mencintai bayangan itu selamanya. Suatu saat, dia pasti menyadari kenyataan kok! Tapi saat dia menyadari itu, dia sudah jatuh cinta padamu. Perasaamu pada Shasha juga begitu kan? Semakin hari, bayangan Shasha yang kau lihat pada diri Rana semakin pudar. Semakin lama, kamu menyukai Rana karena memang dia Rana. Benar kan apa yang kubilang?”

Bernard terdiam lagi. Mungkin dia mengangguk, atau menggeleng. Aku tak tahu.

“Ya, kamu benar,” kata Bernard akhirnya. Kata-kata yang membuat dadaku dapat bernafas lega.

“Jangan terlalu mengkhawatirkan sesuatu deh! Yakin aja dengan perasaanmu. Ok!”

Bernard berterimakasih sebelum akhirnya mengucap salam dan memutus sambungan.

Aku menyimpan ponsel setelah memandangnya lama. Bernard, dia mulai menyadari kenyataan. Aku berjalan menuju jendela, membuka tirainya perlahan, lalu memandang bintang. Apa Bernard juga melakukan hal yang sama denganku? Bahkan Rana juga?

Hhh..., Allah... sejak kapan Kau menenggelamkan kami dalam lautan yang sama? Sejak kapan Kau menyatukan kami dalam perasaan yang sama?

* * *

Aku tak bisa bekerja. Otakku tak konsentrasi sama sekali! Ketika aku mau menggambar si Momo, tokoh kartun yang kuciptakan kali ini, tiba tiba dalam mataku justru tergambar wajah Bernard. Lain waktu, yang tergambar oleh mataku adalah wajah Rana.

“Aaaaarrgghhh...!” akhirnya aku membanting pensil dan mengacak-acak rambutku.
Kontan, semua orang terpaku melihatku.

“Kenapa?” tanya Dimas yang tempat duduknya paling dekat denganku.

“Sory. Aku lagi pusing! Bayangin, adik gue bentar lagi kawin! Sama sahabat gue dari SMA lagi! Mereka mau ngeduluin gue! Coba, bikin kesel kan?”

“Katanya nggak kenapa-napa mereka ngeduluin.”

“Tapi kalo dengar omongan kalian tiap hari rese juga kan?”

“Udah-udah, kerja lagi!”

Aku keluar. Menyapu wajahku dengan air wudhu. Saat-saat bimbang seperti ini aku perlu mengadu pada-Nya.

Tapi saat perjalananku menuju Masjid, aku malah bertemu dengannya. Aku terpaku menatapnya. Dia juga terpaku menatapku. Aku terpaku karena dia Rana. Dan Rana terpaku karena heran melihat aku terpaku menatapnya. Ya, terpaku melihatnya dengan tatapan biru karena rindu, bukan tatapan sekilas sambil melengos kesal seperti biasanya.

“Jadi ceritanya sekarang, seseorang yang tadinya dibenci mulai disukai ya?” Rana tertawa. Bukan mengejek, tapi bercada.

Aku tersentak, panik menyadari tabir jiwaku yang baru saja tersingkap.

“Bernard belum pernah jatuh cinta, jadi awas saja kalau kamu menyakitinya!” kataku menyemai kembali permusuhan yang sebenarnya sudah hilang. Aku tak ingin melakukannya, tapi canda Rana dan pandangannya yang memergokiku senja itu, membuatku nekat melakukannya. Meski sekali lagi, itu bertentangan dengan batinku.

Rana berhenti berjalan dan memandangku tak mengerti. Tapi kemudian dia ikut dalam permainan yang aku tawarkan. “Oh, sekarang kamu sudah jadi pengawalnya dia ya?” Nada ketusnya agak ragu ia keluarkan.

“Terserah kamu mau bilang apa. Tapi lihat saja, aku bisa bunuh kamu kalau kamu nyakitin dia!”

“Apa kamu punya keahlian lain selain bermusuhan?”

Mungkin Rana sudah putus asa dengan sikapku yang sangat tidak bersahabat. Itu memang tujuanku. Aku ingin Rana membenciku. Jadi jika suatu saat kenyataan itu tersibak, Rana sudah terlanjur tak menyukai Krishna, dan cintanya pada Bernard sudah bersemi subur.

Setengah berlari aku meninggalkannya mematung sendiri. Berlari membawa luka dalam jiwa yang semakin menganga.

* * *

“Kamu ini sedang tak selera atau memang lagi diet?” Jamie menghampiriku suatu siang.

Sudah beberapa hari ini, makan siangku hanya jus buah. Aku memang tak lapar. Bahkan kalau tak ingat kesehatan, aku tak akan memaksakan diri dengan satu gelas penuh jus alpukat yang luar biasa kental. Bukannya enak, tapi dalam situasi seperti ini, jus alpukat itu malah membuatku jijik.

“Apa karena Rana?” Jamie memelankan suaranya.

Aku hanya menjawab dengan helaan nafas panjang.

“Saat Dhuha tadi, aku bertemu dengannya.”

“Lalu?”

“Dia terlihat pucat. Kayak orang sakit.”

“Akhir-akhir ini memang banyak masalah. Tapi Pak Bernard bilang, semuanya sudah selesai.”

“Selesai? Bernard itu buta atau memang tak peka?” aku mulai kesal.

“Hush!” Jamie memelototiku. Menyuruhku menurunkan volume suaraku yang mulai meninggi. Matanya berkeliling kantin. Bersyukur, tak ada yang memperhatikan kami.
Mungkin suara cewek-cewek yang ribut, meredam suaraku.

“Menurutku juga begitu. Masalah itu belum selesai.” Jamie memasukan satu sendok nasi sambi matanya menatapku. Dalam keadaan normal, pandangan polos dan sikap Jamie yang seperti itu akan membuatku tertawa. Tapi sekarang? Keinginan untk tertawa itu menguap entah kemana.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Beberapa hari yang lalu, aku datang pagi. Sangat pagi. Dan aku mendapati Rana masih bekerja. Satpam bilang, dia memang belum pulang dari kemarinnya.”

“Rana bekerja sampai pagi? Sendirian? Kenapa nggak bilang sama aku?”

“Tidak sendirian. Hani dan Pak Nanta menemaninya.”

“Terus kenapa nggak bilang sama aku?”

“Karena kupikir... itu akan melukai kamu.”

“Melukai aku bagaimana?”

“Kamu tahu, tapi tak bisa melakukan apapun untuk membantunya. Kalaupun bisa, kamu pasti menahan diri untuk tidak peduli, karena kamu memang ingin dia benci kamu kan? Dan itu sangat menyakitkan.”

Aku diam memandangi Jamie. Aku memang menceritakan masalah Rana padanya. Tapi masalah luka yang tengah kuderita tak pernah aku bicara. Rupanya, dia bisa merasakan apa yang tengah aku rasakan.

Apa yang dikatakan Jamie memang benar. Aku tak akan bisa melakukan apapaun untuk membantunya. Tapi kalaupun bisa, aku tak akan melakukan itu, karena aku tengah berusaha untuk mengkhianati cintaku pada Rana. Mengkhianati hatiku. Pada saat yang sama, cintaku tengah merekah. Dan dia tengah berusaha menggeliat diantara tekanan yang aku lakukan. Rasanya benar-benar menyakitkan.

“Apa kupancing saja Bernard agar menyadari hal ini?”

“Aku tak tahu,” Jamie mengangkat bahu.

“Apa kamu tak punya usul sama sekali?”

“Punya. Tapi aku yakin takkan berguna.”

“Apa?”

“Aku minta kamu jujur. Jujur pada Rana. Jujur pada Bernard. Jujur pada dirimu sendiri.”

Sekali lagi, aku memandangi Jamie lama. “Andai aku bisa, Jam. Andai aku mampu...”

“Kamu bisa jika kamu mau. Menyembunyikan semuanya hanya akan menambah luka. Apa tak terbayang olehmu, bagaimana perasaan Bernard jika dia tahu? Bagaimana terlukanya Rana? Juga luka dirimu sendiri? Mereka merasa dibohongi!”

Aku memalingkan wajah, menghindari tatapan tajam Jamie. Aku tahu Jamie benar, tapi aku tak bisa apa-apa.

“Bernard mungkin... akan menyerahkan Rana padaku. Padahal cintanya pada Rana sudah terlalu dalam. Dan Rana... aku tak tahu...” Aku menarik nafas panjang, menarik kembali butiran air yang mendesak kelopak mataku.

“Jadi... jujurlah. Lebih cepat lebih baik.”

Aku memandang langit diluar jendela. Memandang awan yang menyemai. Tak ada jawaban. Tak ada keputusan.

* * *

Kami berada di ketinggian. Setelah beberapa lama, akhirnya kami bisa menghabiskan waktu bersama lagi.

Jam sepuluh pagi. Dan kami belum mau pergi. padahal kami sudah berdiri disini satu jam lamanya. Orang-orang yang berdiri di sisi-sisi kamipun sudah berganti berkali-kali.

Tak ada yang kami lakukan, selain memandang diorama tercanggih sepanjang zaman. Dengan bangunan-bangunan besarnya, dengan mobil-mobil kecil bermesin, bahkan orang-orangan yang bisa berjalan! Aku tertawa dalam hati. Bukankah tak ada yang menyamai diorama semacam ini?

“Seperti diorama...,” kata Bernard setelah lama terdiam.
Aku menatap Bernard takjub. Benar kan? Kami memang tengah tenggelam dalam lautan dunia yang sama, hingga isi kepalanya pun sama!

“Bagaimana perkembangan gadis cilik pemilik saputangan itu?” Bernard memandangku.
Aku mengangkat bahu. Tak ingin menjawab.

“Kau sendiri? bagaimana perkembangan Rana?”

Bernard tertawa kecil. “Dia itu... suka berbohong...”

“Apa?”

“Ya, dia mengalami hal lain, lalu mengatakan lain lagi. Itu bohong kan?”

“Maksudmu?”

“Dia bilang, kalau dia sudah membereskan masalahnya. Dia pikir dia bisa bohongi aku.”

Asli, aku terbeliak lebar.

“Lalu apa tindakanmu? Kau akan mengambil tindakan kan?”

“Aku tak tahu. tapi yang jelas, aku tak bisa diam saja.”

Aku teringat perkataan yang aku lontarkan pada Jamie kemarin siang, bahwa Bernard buta atau mungkin tak peka. Aku sudah merasa mengenal Bernard dengan baik, ternyata aku salah. Total. Masih banyak yang tidak aku tahu dari dirinya.

Bernard lebih memahami Rana daripada aku sendiri. Dengan begitu, aku akan tenang melepas Rana, karena ada orang semacam Bernard yang mendampinginya. Dibandingkan dengan aku, Bernard menang dalam segi apapun. Namun pada sisi lain, aku mengeluh dan menggerutu. Kenapa Bernard begitu sempurna dalam mencintai Rana? Padahal lebih baik kalau dia buta dan tak peka, agar aku bisa leluasa dan punya alasan untuk mengambil Rana dari hatinya.

“Kenapa memandangku seperti itu?!” kening Bernard sedikit berkerut.

Aku tertawa. “Musuhku itu..., mendapatkan orang seperti kamu, beruntung sekali dia!” kataku mencibir.

“Memangnya aku seperti apa?”

“Kamu ganteng, punya duit, punya kedudukan.”

Bernard tertawa.

“Lebih dari itu..., kamu juga sangat memperhatikan dia. Aku yakin, dia pasti bahagia...”

Aku meraba hatiku. Dan pada tempat dimana hatiku biasa berdiam, aku tercengang. Tempat itu kosong. Hatiku hilang entah kemana...

* * *

Hari ini kerjaku kacau lagi. Obrolanku dengan Bernard hari minggu kemarin tak mau selangkahpun keluar dari akal dan pikiranku. Semuanya berdengung dalam gendang telingaku dan menyebar melalui seluruh pembuluh darahku, kemudian menyumbat pikiranku.

Aku menyimpan sketsa yang belum selesai. Aku mengambil sapu tangan dari saku celanaku, dan memandanginya sampai aku larut menyatu.

Rana akan bahagia disamping Bernard. Aku yakin itu. Apakah saatnya telah tiba? Saat dimana aku harus melepaskan kenangan yang telah terpahat sedemikian lama. Saat dimana aku harus melepaskan harapan yang selama ini jadi tujuan kebahagiaan? Apa aku sanggup?

“Krishna!” Dimas berteriak diambang pintu.

“Apa sih? Bikin kaget aja!”

“Pimpinan manggil kamu! Kerjaan kamu yang kurang beres sampai ditelinga dia lho!”

“Apa?!!”

“Bukan bengong! Sana menghadap!”

Terburu-buru aku bangkit dan setengah berlari menuju ruangan diujung koridor.
Benarkah tentang pekerjaanku akhir-akhir ini? Atau itu bisa-bisanya Dimas ngerjain aku? Ah, setelah menemui beliau, aku akan segera tahu.

* * *

Sabtu, 13 November 2010

Pelataran Kasih VIII (Mentari di Balik Awan)

Mentari Dibalik Awan

Rana

Aku memasuki ruangan dengan sangat riang. Tak tahu, rasanya ini adalah hari yang menyenangkan sejak aku menginjakkan kaki dikantor ini. Bahkan selain Hani, beberapa orang menyambutku dengan ramah.

“Kali ini kue apa?” Hani tersenyum memandang kotak yang kubawa.

“Strawbery short cake. Mau?” aku meletakkan kotak kue itu dimeja Hani.

“Hm... lama-lama Ibu bisa jadi pembuat kue handal nih!” Hani tertawa, tapi tiba
tiba berhenti ketika melihat kepalaku berkeliling ruangan dengan kening berkerut.

“Pada kemana?” tanyaku, masih dengan pandangan memutar.

“Mungkin... pada belum datang aja, Bu!”

Aku memandang Hani dengan sorot mata menyelidik. Hani jadi sedikit salah tingkah.
Itu artinya, dia menyembunyikan sesuatu.

“Boleh saya makan nih, Bu?” Hani mengalihkan pembicaraan. Tapi jangan harap aku bisa lupa dengan sesuatu yang tengah ia sembunyikan. Jadi aku masih menatap Hani seperti tadi. Itu membuat Hani semakin salah tingkah, lalu terdiam kaku. Sejauh yang aku kenal, Hani memang tak pernah berbohong. Jadi sekali berbohong, akan sangat ketahuan.

“Ada apa?” tanyaku pelan dan tegas.

“Mh...”

“Mereka mogok kerja,” seorang laki-laki menghampiri kami. Pak Nanta.

“Apa?”

“Sebenarnya... dibilang mogok juga nggak sih. Tapi, mereka cuti bersama, yang lain
sakit, dan beberapa orang kabur.”

Pandanganku tiba-tiba buram. Aku syok, dan ingin marah. Cuti bersama? Siapa yang memberi izin? Mereka diizinkan tidak masuk jika sudah medapat tanda tanganku. Lalu
kenapa personalia mengeluarkan surat cuti untuk mereka? Lagipula, dua hari dari sekarang gajian karyawan. Pekerjaan akan sangat menumpuk.

Tidak, sebenarnya tidak akan terlalu menumpuk jika yang mengerjakan bukan hanya aku. Aku memasuki ruangan dengan gontai, cepat-cepat aku duduk. Sebelum persendianku yang mulai lemas tak mampu menahan berat tubuhku. Aku menekan pelipisku, kepalaku mendadak serasa ditusuk seribu jarum, sakit.

“Sakit?” Nanta masuk keruanganku dan duduk dihadapanku.

Aku menggeleng sambil tersenyum, sedikit berbohong. “Tesisnya sudah selesai? Kok masuk kerja?” Karena menempuh studinya, Pak Nanta diberi keringanan. Dia diperbolehkan absen sampai tiga bulan.

“Lagipula kamu terlihat kurus,” Pak Nanta tak menjawab pertanyaanku.

“Aku baik-baik saja.” Aku menyalakan komputer, mulai bekerja. Dan menurutku, itu
cara yang halus untuk mengusir Pak Nanta. Aku ingin sendiri.

“Linda, dia yang memotori pergerakan,” Pak Nanta tertawa mendengar kata-katanya sendiri. “Kau sudah tahu tentang itu?”

Aku mengangguk.

“Tak mengembil tindakan?”

“Belum.”

“Kenapa? Padahal kamu lebih mampu dari sekedar merayu mereka.”

Aku mendongakkan kepala, memandang Pak Nanta. Darimana dia tahu? bukankah selama
ini dia tak ada.

“Apa yang Hani bicarakan padamu?”

“Tak ada.”

“Jangan bohong, kata-kata Hani yang membuatmu datang kemari kan?” Aku menatap mata
Pak Nanta yang lembut. Kami berpandangan agak lama, lalu dia menghindar.

“Ya...”

“Apa saja?”

“Segalanya.”

Aku menghentikan cursor, melepas mouse, lalu memutar tubuhku hingga berhadapan
dengan Pak Nanta.

“Jangan bicarakan ini dengan Bernard,” kataku setelah melepas nafas panjang.

“Kenapa?”

“Karena aku takut, Bernard akan mengeluarkan SP, bahkan mungkin memecat mereka.”

“Tapi mereka memang pantas mendapatkannya.”

“Tidak, Pak... ini bukan masalah ketaatan apalagi kinerja. Ini hanya masalah
perasaan.”

Kening Pak Nanta berkerut. Aku tahu, dia butuh penjelasan lebih lanjut.

“Jamie pernah bilang padaku, kalau mereka cuma iri padaku.”

“Iri?”

“Karena katanya, aku punya segala sesuatu yang diinginkan para cewek. Meski sebenarnya, aku tak merasa begitu.”

Pak Nanta diam sejenak, sepertinya dia mulai memahami segala sesuatu.

“Jadi, kamu ingin menunjukkan pada mereka, kalau kamu sama dengan mereka?”

“Aku hanya mencoba untuk jadi pemimpin yang baik,” aku tersenyum. Tak lama setelah itu, Pak Nanta juga tersenyum.

“Tapi jangan lupakan dirimu,” Pak Nanta memandangku.

“Maksudmu?”

“Kamu pucat, kamu juga terlihat lelah. Kurus lagi! Berat badanmu itu turun berapa kilo?”

Aku hanya tertawa. “Terimakasih.”

“Bukan terimakasih, tapi... begini saja. Kita buat kesepakatan. Aku tak akan membicarakan ini pada Bernard. Tapi kamu juga harus berjanji, kamu akan lebih baik saat pertemuan kita selanjutnya.”

Aku tertawa lagi.

“Kamu harus banyak makan, banyak istirahat,...”

“Banyak bekerja,” sela ku ditengah-tengah tawa.

Setelah itu Pak Nanta keluar, tapi bukan untuk pulang. Saat dhuhur (saat aku baru sempat keluar), aku melihatnya sedang duduk memandangi komputer dimeja kerjanya.
Diam-diam aku menghampirinya dari belakang.

“Kamu tak perlu mengerjakan pekerjaan mereka,” kataku ketika sudah jelas dalam pandanganku apa yang tengah ia kerjakan dikomputer.

“Bukankah kata-kata itu lebih tepat kalau ditujukan padamu?” ia menoleh padaku.

“Tapi kamu banyak kerjaan, nanti sekolahmu tak selesai lagi! Bisa-bisa Bernard menyalahkan aku!”

“Banyak kerjaan... bukannya itu kamu?”

“Pak Nanta...!” aku mulai kesal. Dia selalu saja punya jawaban.

“Kalau begitu jangan protes. Kalau kamu tak ingin aku bilang pada Bernard bahwa
laporan ‘semuanya sudah teratasi’ itu hanya kebohonganmu.”

“Pak, jangan membuatku kesal!”

“Sudahlah... jangan kesal. Aku hanya ingin membantumu. Ok?”

Aku tak bisa menolak, dia sepertinya serius tentang ancaman itu. Meski tentu saja, aku sangat tidak mau Pak Nanta melakukan itu. Jadilah, kami bertiga, aku, Pak
Nanta, dan Hani malam ini menginap dikantor. Sungguh, aku sangat berterimakasih pada mereka.

* * *

Kami sedang duduk menatap senja, saling beku. Saling berkutat dengan kenangan masing-masing.

“Kamu masih suka main bola?” tanyaku memecah keheningan yang mengkristal diantara kami.

“Tidak terlalu,” jawab Bernard pendek.

“Sudah pasti,” kataku tersenyum.

“Sudah pasti?”

“Ya, sudah pasti,” aku tertawa, dan Bernard memandangku tak mengerti. Hah, ternyata
laki-laki tak peka ya? Sudah tentu dia tak menyukai bola karena kenangan dulu, tapi dia tak menyadari hal itu.

“Jadi semuanya sudah beres?” tanya Bernard ketika tawaku reda.

“Ya. Terimakasih,” aku berbohong lagi. Tapi aku tak sanggup mengatakan yang sebenarnya. Bernard sudah mempercayaiku untuk menyelesaikan semuanya sendirian. Dan aku tak ingin mengkhianati kepercayaan itu. Lagipula, jika kukatakan yang
sebenarnya, Bernard pasti tak akan tinggal diam. Padahal pekerjaannya sendiri sudah sangat banyak.

“Terimakasih untuk apa?”

“Untuk... kepercayaanmu. Karena kepercayaanmu membuatku percaya diri. Aku jadi yakin bisa menyelesaikannya dengan baik.”

Bernard tersenyum. “Sebenarnya aku ingin membantu, tapi Krishna bilang, aku harus membiarkanmu.”

“Krishna?”

“Ya, Krishna.”

Tiba-tiba wajah Krishna tergambar jelas dalam cermin mataku. Wajah Krishna yang
menatap rumahku dengan mata berkabut. Bayangan itu menjelma menjadi semilir yang menghentak jiwaku. Sesuatu, yang tak mampu kutafsirkan.

Entah ditarik oleh kekuatan apa, kepalaku menoleh ke belakang. Ketempat dibawah pohon rindang, jauh dibelakang tempat aku dan Bernard duduk. Disana ada mata yang tersentak ketika pandanganku menembus batinnya. Pandangan mata sendu milik Krishna.

Aku memandangnya, bahkan sampai dia berpaling, dan pergi meninggalkan tempat itu. Tapi sampai saat itu, suatu perasaan yang menghentak itu belum dapat kuterjemahkan. Ada sesuatu yang menghalangi kenyataan. Aku memahami segalanya, hanya seperti memandang mentari yang bersembunyi dibalik awan. Hangat, namun tak terlihat...

* * *

Pelataran Kasih VII (Pelataran Cinta)

Pelataran Cinta

Bernard

Kebahagian melingkupi ruangan ini. Keceriaan tergambar jelas dalam tiap-tiap wajah orang yang ada didalamnya. Wajah Irya, wajah Ilham, suaminya, wajah Krishna, Rana, Hani dan aku.

Sebuah rengekan terdengar dari makhluk kecil yang tengah Rana gendong. Makhluk kecil itu adalah anak pertama dari Irya dan Ilham. Anak yang telah mereka tunggu selama lebih dari lima tahun. Anak yang telah membuat orang-orang disekelilingnya merasa bahagia.

“Mungkin lapar?” Hani menduga arti rengekan itu. Rana mengerti, ia memberikan bayi
merah itu pada ibunya.

“Bukan, hanya basah.” Irya menerima bayi dari Rana. “Pasti basah kena bajumu Rana,” nada Irya terdengar menyesal.

“Ah, cuma sedikit, bahkan aku tak menyadarinya kalau dia ngompol dibajuku,” Rana tertawa.

“Siapa namanya?” Krishna menatap Ilham. Yang ditanya malah menatap istrinya lalu menggaruk-garuk kepala.

“Belum terpikirkan,” jawab Ilham keras.

“Bagaimana kalau...,” Hani memberikan usul. Tapi belum sempat usulnya terungkap, sebuah suara ramai terdengar mendekati ruangan ini. Segerombolan orang masuk dan menyerbu tempat tidur Irya. Mungkin bekas anak buahnya dikantor, dan itu berarti, sekarang mereka anak buah Rana. Tapi melihat mereka ribut dan tak memperdulikan
Rana sama sekali, lalu dari sikap mereka menggeser dan ‘menyingkirkan Rana’, membuatku berkesimpulan lain. Mereka tak mengenal Rana. Atau mungkin mereka mengenal Rana, dan tidak menyukainya. Lalu percakapan selanjutnya membuatku tahu, bahwa kesimpulanku yang terakhir yang benar.

“Aduh, Bu Irya... kangen deh!” mereka menyalami Irya satu persatu.

“Anaknya manis ya?”

“Manis? Dia laki-laki,” Hani bicara agak ketus.

“Oh, ada Hani!” kata seseorang dari mereka mengejek Hani.

Aku, Krishna, dan Ilham yang sudah duduk disofa sejak mereka datang, hanya mendengar dengan perasaan yang tak menentu.

“Apa ada bosnya juga? Aku kok nggak lihat?”

“Linda! Jaga bicaramu! Hari ini hari kebahagiaan untuk Bu Irya, apa kau tak menghormatinya juga?”

“Jelas aku menghormatinya Hani! Bu Irya itu pemimpin yang paling baik yang pernah kutemui, sangat berbeda dengan pemimpin yang sekarang. Sudah masuk lewat belakang, kerja nggak becus! Bisanya cuma cari perhatian cowok-cowok saja, menganggap dirinya orang tercantik sedunia.” Perkataan orang yang dipanggil Hani dengan nama Linda itu di amini oleh yang lain. Sungguh! Aku merasa sangat gerah. Aku ingin melakukan sesuatu, tapi apa?

“Aku yang memasukkan Rana,” suara Irya membungkam mulut mereka dengan tiba-tiba.

“Rana masuk atas rekomendasi dariku,” Irya mempertegas perkataannya yang pertama.
Menjawab keterkejutan yang menyengat mereka tiba-tiba.

Aku memperhatikan Rana. Air mukanya tampak tenang, sesekali dia menarik nafas panjang. Tapi mata hijaunya yang berkaca, membuatku menyadari sesuatu. Rana tengah berjuang melawan rasa perih hatinya.

Aku berpaling, merutuk diriku sendiri atas sesuatu yang tidak kusadari selama ini.
Beginikah perlakuan mereka terhadap Rana? setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik? Jika benar, betapa sakitnya Rana. Dan aku... akulah yang menyebabkannya.

“Nama yang kamu usulkan itu apa Hani? Ilham pasti sedang butuh masukan. Iya kan?” perkataan Krishna menetralkan perasaan semua orang. Atau paling tidak memendamnya dan membiarkan kami untuk melupakan kejadian tak enak itu barang sejenak. Mungkin
Krishna tak sungguh-sungguh dengan pertanyaannya, jadi tak sungguh-sungguh juga dia butuh jawabannya. Karena matanya hanya menatap Rana prihatin. Ya, tatapan itu adalah tatapan prihatin, seolah-olah ingin mengatakan, ‘pasti berat ya, kerja sama mereka, tapi apa kamu tahu, masih banyak orang yang peduli padamu. Termasuk aku.
Apa yang bisa aku lakukan?’

Aku menyesal, karena saat itu aku begitu sibuk memikirkan Rana dan menyalahkan diriku sendiri. Aku begitu sibuk dengan perasaanku. Sampai-sampai tatapan Krishna yang begitu rupa, luput dari perhatianku sama sekali. Padahal, kalau saja saat itu aku memandang Krishna sekilas saja, aku pasti akan menyadari cinta yang tengah ia pendam jauh didalam pelataran jiwanya.

Aku memang tak menyadari segalanya. Bahkan percakapan yang terjadi didepanku, aku sudah tak tahu. Pikiranku terbang, anganku melayang. Dan semuanya kembali kedalam jasadku ketika aku melihat Rana keluar ruangan. Aku mengikuti langkah cepatnya dengan tergesa. Dan aku menghentikan langkahku ketika melihatnya berhenti. Berdiri disamping dinding kaca dan menatap keluar gedung. Aku juga berdiri, tepat disampingnya. Lama kami saling terdiam.

“Aku pernah bilang pada Jamie, kalau aku mulai terbiasa dengan sikap mereka. Tapi nyatanya... perih yang mereka torehkan tak bisa begitu saja kuabaikan.” Rana menghela nafas panjang.

Kami saling terdiam, lama.

“Di plaza depan itu, sedang diskon besar-besaran. Kerudung dan baju muslim sampai tujuh puluh persen lho!” Aku tahu tentang diskon? Tentu saja tidak! Aku cuma mengarang. Asli mengarang. Ide itu mucul begitu saja ketika mataku menangkap lambaian umbul-umbul yang ramai menancap tepat didepan sebuah Plaza. Letak Plaza itu agak kekiri dari depan RS bersalin ini.
Rana memandangku tak mengerti.

“Oh, tak tertarik? Kupikir... setiap wanita pasti akan senang kalau mendengar diskon.”

“Kamu ini bicara apa?”

“Bicara diskon.”

“Kamu bercanda kan?”

“Bercanda? Tidak! Aku hanya sedikit... berbohong.”

Rana tertawa. “Terimakasih,” bisiknya pelan. Setelah itu, Rana beranjak pulang.

“Sampaikan salamku pada Bu Irya dan semuanya, katakan pada mereka aku pulang.”

Aku mengangguk mengerti. Mengerti kalau Rana tak mau kembali keruangan itu.

Aku masih berdiri disini. Menatap awan yang putih bergumpal-gumpal, memandang biru langit yang mengintip diantaranya. Penderitaan Rana, akulah yang menyebabkannya.

Tak ada asap jika tak ada api. Begitulah gosip yang tertuai mengiringi kehadiran
Rana dikantor kami. Rana mungkin tak tahu, Krishna juga tak tahu. Bahkan mungkin Irya. Yang tahu hanya aku dan Jamie.

Tapi apa salah? Aku memasukkan Rana keperusahan ini, karena dia adalah putri dari orang yang sangat kuhormati. Tapi itu juga karena mempertimbangkan kemampuan Rana.
Kemudian pengangkatan dia sebagai Manager keuangan, meski untuk sementara, bukan hanya karena perasaanku semata. Tapi karena Rana memang mampu untuk itu. Tapi benarkah? Benarkah tidak ada perasaan yang terlibat? Aku menjawab ya, tapi tak bisa kupungkiri, ketika aku mengatakan itu pada diriku, aku tengah membohongi diriku sendiri.

Allah... maafkan aku.

* * *

Adzan Isya berkumandang, membuatku tersadar bahwa ini sudah malam. Ah, kenapa pekerjaan akhir-akhir ini sangat banyak? Aku sudah duduk disini sejak pagi tadi, tapi sampai matahari kembali bersembunyi, pekerjaanku baru selesai separuhnya.
Mungkin sekarang, aku harus melanjutkannya dirumah.

Aku mulai membereskan berkas, dan memasukkan semuanya kedalam tas kerja. Mematikan komputer, dan bersiap pulang.

Sebelum benar-benar pulang, aku menyempatkan diri untuk shalat masjid kantor yang sepi.

Air wudlu terasa sejuk ketika menyentuh pori-pori wajahku. Sejenak, aku menumpahkan keresahan dan kekalutan, lalu seketika, Ia hadiahkan ketenangan dan kenyamanan.

Membuatku merasa betah berlama-lama bersandar dalam kelapangan Ampunan-Nya dan meringkuk dalam genggaman Cinta-Nya.

Keresahan dan kekalutan? Hah, setiap hari selalu itu yang ku persembahkan. Ampuni aku...

Aku sudah merasa tenang dan lapang ketika aku melangkahkan kaki keluar. Angin bersemilir menerbangkan keresahan dan membuat rambutku sedikit menari. Rambutku menari... Allah... rambutku sudah gondrong! Kenapa aku harus selalu diingatkan oleh-Mu untuk hal-hal sepele seperti ini? Apakah keseriusanku dalam pekerjaan sudah terlalu berlebihan?

Aku berjalan menuju pelataran parkir dengan tawa ringan. Menertawakan diriku sendiri.

Sebuah mobil Honda Jazz warna hitam yang berdiam manis disamping Chevrolet milikku membuat kakiku berhenti tiba-tiba. Apakah selain aku ada orang lain yang lembur sampai malam?

“Punya Ibu Nai, Pak,” kata seorang Satpam ketika kutanya tentang pemilik mobil itu.
Aku menoleh kearah jendela tingkat lima, terhalang beberapa jendela dari jendela ruanganku. Benar, ruangan itu masih terang.

Aku mengurungkan niat untuk pulang. Bukan untuk apa-apa, hanya menengoknya sejenak, atau sekedar tahu, apa yang dikerjakannya hingga malam?

Tak ada jawaban ketika aku mengetuk pintu ruangan Rana perlahan. Demikian ketika ketukan kuperkeras. Sebuah kekhawatiran tiba-tiba terbersit. Pintu tak terkunci ketika aku membukanya. Rana tak ada dimejanya. Aku menyapu pandangan keseluruh ruangan. Dan aku menemukan Rana tengah tergolek diatas sofa, lengkap dengan mukena yang masih menyelimuti tubuhnya. Mungkin Rana tertidur selepas shalat Isya.

Aku menghampiri meja Rana, lalu duduk dikursinya, ingin tahu apa yang tengah ia kerjakan.

Keningku seketika berkerut ketika halaman demi halaman yang berserakan mulai terbaca dan mulai kumengerti isinya. Ini kan...

Kenapa? Bukankah ini pekerjaan accounting? Bukan pekerjaan dia? Lalu kenapa berkas-berkas ini ada di mejanya. Lalu komputer yang menyala ini... jelas-jelas Rana sedang mengerjakan semua ini.

Sebuah denyutan keras tiba-tiba mencengkram kepalaku. Apa yang sebenarnya terjadi?

* * *

“Apa maksudnya?” aku menyimpan berkas dengan keras kehadapan Rana. Lebih tepatnya, aku melemparnya.

“Maaf...” Rana tertunduk.

“Bukan maaf, tapi kenapa?”

Rana hanya terdiam.

“Aku tak tahu kalau kamu akan mengerjakan semuanya.”

“Bukan itu yang ingin aku dengar. Katakan alasannya kenapa kamu mengerjakan
pekerjaan mereka?”

“Sudah kubilangkan? Mereka nggak mau kerjasama, mereka nggak mau aku jadi atasan mereka, mereka nggak mau kalau aku nyuruh-nyuruh mereka, mereka...”

“Jadi untuk mudahnya, kamu menghandle pekerjaan mereka?”

“Memang aku bisa apalagi?”

“Kenapa tidak bilang padaku?”

“Karena ini bukan pekerjaanmu.”

“Paling tidak, aku bisa menegur mereka kan?”

“Itu yang aku tidak mau.”

“Jadi?”

“Jadi, biarkan aku yang menyelesaikan masalah ini. Kamu bilang kamu percaya sama
aku kan? Kamu percaya aku bisa melakukan tugasku dengan baik kan? Jadi sekarang, biarkan aku menjalani kepercayaan itu.”

“Kamu menyiksa diri kamu sendiri...”

“Tak akan lama...”

“Berapa lama?”

“Sampai aku bisa mengambil hati mereka...”

“Kapan?”

Rana terdiam, lalu mengangkat bahu.

“Kalau begitu, aku akan turun tangan!”

“Kalau kamu yang turun tangan, aku akan turun jabatan!”

“Jangan mengancamku!”

“Aku memang mengancammu, dan aku tak main-main.”

Aku bungkam, aku tak bisa apa-apa lagi. Aku diam dan menahan kesal. Pada mereka,
juga pada Rana. Kenapa mereka membuat Rana susah? Lalu kenapa Rana keras kepala?
Kenapa dia tak mau kubantu sedikitpun! Padahal aku tinggal menggerakkan tangan sedikit saja, mereka pasti tak bisa berkutik.

Aku mengibaskan tangan, memberi isyarat pada Rana untuk keluar. Aku butuh bernafas sendirian. Aku perlu pergi mengelilingi isi batinku dan mengobrak abrik jalan pikiranku.

Apa yang seharusnya aku lakukan?

“Biarkan saja,” saran Krishna ketika aku meminta pendapatnya suatu malam.

“Membiarkannya menyelesaikan masalah itu sendirian?”

Krishna mengangguk.

Dan aku menghembuskan nafas cepat, lalu memandang keluar jendela disamping kursi yang tengah aku duduki. Membiarkannya lelah sendirian? Membiarkannya susah?
Membiarkannya penat? Kalau saja aku bisa...

Entah sejak kapan, wajah Rana selalu menggelayut dimataku. Dan melihatnya berwajah sendu dan murung benar-benar mengganggu pikiranku. Krishna tersenyum menatapku.
Mungkin dia mengerti apa yang tengah kupikirkan dan kurasakan. Atau mungkin bukan?
Paling tidak, aku menafsirkan senyumnya seperti itu.

“Aku yang menyebabkannya begitu...,” aku memberi alasan untuk tidak memakai saran Krishna.

“Karena kamu yang mengajukannya?”

Aku mengangguk. “Untuk alasanku sendiri...”

“Maksudmu?”

“Direksi bersuara bulat memilih Nanta. Tapi... untuk beberapa bulan ini, keputusan itu tak mungkin dijalankan. Dan saat itulah aku mengusulkan Rana. Banyak yang dipertimbangkan, tapi aku mendesak dan sedikit memaksa. Kamu tahu kenapa alasannya?”

Krishna tak bicara sepatah katapun. Dia hanya menggeleng pelan, berinisiatif untuk mendengar apa yang akan aku bicarakan selanjutnya.

“Karena aku ingin urusanku dengan Rana tak pernah usai. Aku ingin sering bertemu dengannya, aku ingin sering bicara dengannya...”

Krishna menatapku, bola matanya sedikit membeliak.

“Aku tak tahu, sejak kapan aku bertindak tidak profesional...”

Krishna tertawa. “Rana yang membuatmu seperti itu.”

“Jangan menertawakanku, aku sudah tahu aku salah!”

“Hhh... ternyata cinta bisa menyembuhkan penyakit seorang Bernard ,” Krishna
tertawa lagi.

“Penyakit apa? Aku tidak berpenyakit!”

“Penyakit perfeksionismu, penyakit workaholicmu,” Krishna tertawa lagi. Aku heran,
apa aku begitu lucu hingga Krishna tertawa terus untukku?

“Jadi menurutmu aku harus diam saja?” aku mencoba meluruskan kembali pembicaraan yang sudah mulai keluar dari koridor. Atau mungkin, aku hanya ingin menghindar tawa cemoohan Krishna. Aku tak mau jadi bahan tertawaannya terus-menerus.

“Yup! Meski mungkin.... kamu harus sedikit menyingkirkan kekhawatiranmu, rasa tidak nyamanmu, rasa tidak enak, atau rasa-rasa yang lainnya.”

Sudah kuduga, Krishna mengerti apa yang kurasakan. Aku harus mengucapkan terimakasih pada-Nya, karena memberikan seseorang yang bisa mengerti aku tanpa aku bicara sedikitpun. Dan seseorang itu adalah Krishna.

“Tapi...,” aku masih berusaha untuk mengelak. Sungguh, aku ingin Krishna memberiku saran yang lain. Aku ingin Krishna mengatakan ‘’bantu dia, karena dia memang sedang butuh itu! Kalau dia bilang nggak mau dibantu, dia cuma merajuk. Dia cuma mengujimu apa kamu peka dengan permasalahannya? Apa kamu mau membantu meski tak diminta? Jadi kalau kamu menyukainya, bantu dia!’

Tapi tahu tidak? Krishna malah mengatakan; “Sejak awal, kamu percaya padanya, jadi sekarang pun kamu harus percaya kalau dia bisa menyelesaikan masalahnya. Kamu ingat pepatah lama kan? Dalam cinta ada kepercayaan. Lagipula... dia sangat tidak ingin menyusahkanmu, jadi hargai perasaannya. Jika kamu bantu dia, dia akan merasa tak dipercayai, tak dihargai. Mengerti kan maksudku.

Aku mengangguk, sangat pelan. Aku mengakui kata-kata Krishna, tapi aku menuruti nasehatnya masih dengan terpaksa. Hatiku masih diliputi kecemasan. Apa tindakanku benar? Apa aku tidak melakukan hal yang salah? Apa itu takkan membuat Rana marah dan justru tak menyukai aku?

Sampai pulang kerumah, dan terbaring ditempat tidurku, aku masih melihat wajah Rana yang lelah terlukis dilangit-langit kamarku. Apa aku bisa menyapu kelelahan itu dari wajahnya?

Tiba-tiba sebuah senyum dari wajah yang sangat akrab mengusik perhatianku.
Kupalingkan wajahku kesamping kanan. Disana, wajah Shasha tengah tertawa hangat padaku. Merasa terpanggil, aku mendudukkan tubuhku, dan mengambil foto Shasha perlahan.

Apa aku sudah menyembuhkan luka itu Shasha? Apakah perasaan yang aku rasakan ini, adalah bukti bahwa kau telah memaafkan aku?

Aku menghela nafas panjang. Menatap Shasha lebih dekat dan lebih lekat.

“Aku tak tahu kenapa aku memperhatikannya, apa mungkin karena mata yang ia miliki sama persis dengan yang kau punyai?”

Aku membaringkan tubuhku kembali. Lalu seperti biasa, membawa Shasha kedalam mimpiku malam ini.

“Kau tahu Shasha? Aku ingin menjaganya, sebagai tebusanku atas kelalaianku menjagamu...”

Kemudian aku benar-benar terlelap, ditemani Shasha yang tengah tertawa disamping tempat tidurku.

* * *

Aku bertemu dengan Rana ditempat parkir. Ketika aku keluar dari mobilku, dan dia keluar dari mobilnya.

Dia menghampiriku dengan senyuman yang lebar. Disela-sela kelelahan yang tersirat jelas, memancar sebuah kegembiraan yang jelas terlihat.

“Kelihatannya senang sekali?” aku menyapanya setelah mengucap salam. Kami beriringan memasuki gedung kantor.

“Memang, apa terlihat?” jawab Rana riang.

“Ya, jelas terlihat,” kataku pasti, meski sebenarnya aku tak terlalu pasti dengan dugaanku. Memang Rana terlihat sedang bahagia? Sikapnya biasa-biasa saja, tak berubah dengan hari-hari sebelumnya. Apa aku hanya terbawa perasaan saja? Terlalu sensitif terhadap sesuatu yang berhubungan dengan Rana? Kalau begitu tak apa-apa. Tapi bagaimana kalau aku hanya sok tahu saja? Jika yang terakhir yang benar, alangkah malunya...

“Sebenarnya... sikap mereka mulai berubah!” kata Rana ketika kami sudah berada didalam lift. Tubuh dan kepalanya ia condongkan sedikit mendekati telingaku, dan suaranya terdengar seperti bisikan. Mungkin ia tak ingin orang lain yang juga berdiri didalam lift ini mendengar ‘pembicaraan rahasianya’.

“Oya?” kataku dengan volume suara menyamai volume suara Rana. Rana tersenyum dan mengangguk beberapa kali. Mungkin untuk meyakinkan aku atas pernyataan yang tadi ia buat.

“Kok bisa?” Ini berita besar! Paling tidak bagiku. Jadi aku ingin tahu apa yang sudah dilakukan Rana?

Rana tak menjawab. Dia hanya menunjukkan kotak berbungkus plastik hitam yang dibawanya.

“Apa itu?”

Rana membuka tutup kotak itu dan memperlihatkannya padaku.

“Kue?” tanyaku. Jujur, aku masih belum mengerti hubungan antara perubahan sikap anak buah Rana dengan satu loyang kue.

Pintu Lift terbuka, kami sudah dilantai lima. Setelah meminta izin keluar dari orang yang berdesakan didepan kami, akhirnya kami keluar juga dari lif yang penuh sesak itu.

“Aku yang membuatnya,” kata Rana setelah obrolan kami di-pending beberapa saat.
Kini suaranya tak berupa bisikan, mungkin karena Rana yakin, orang yang lalu lalang dikoridor ini tak mungkin mendengarkan pembicaraan kami. “Setiap hari, aku membawanya,” lanjut Rana, “Untuk mereka! Ternyata... lambat laun mereka luluh juga.
Satu dua orang mulai mengerjakan pekerjaannya dengan benar. Tak lagi membuatku susah. Ya... meski mereka belum mau menyapaku, tapi menurutku, itu prestasi yang luar biasa!” Rana menyipitkan matanya, tersenyum senang.

“Jadi kamu membujuknya dengan kue?” aku tertawa.

“Mungkin intinya bukan dikuenya sendiri, tapi...”

“Ketulusan?” aku menerka. Dan Rana mengangguk, menandai bahwa tebakanku tepat.

“Mereka langsung terbujuk begitu?”

Rana menggeleng, “butuh waktu agak lama. Awalnya.... cuma Hani dan para Bapak saja
yang kenyang dengan kue-kue ku. Tapi makin lama, makin bertambah. Meski tidak semua.”

Kami terdiam beberapa saat.

“Jadi sepertinya... kamu benar-benar tak membutuhkan bantuanku ya?” aku menerawang.

“Baguslah, dengan begitu, aku sudah meringankan pekerjaanmu iya kan? Dengan begitu juga, aku sudah membantumu! Benar?”

Aku mengangguk setuju. Benar, Rana memang sudah membantuku, bahkan lebih dari itu.
Rana sudah menyembuhkan luka yang sudah meradang bertahun-tahun silam.

“Eh, tunggu,” Rana tiba-tiba berhenti. Dan aku mengikutinya menghentikan langkahku.
Rana lalu mengambil sebuah tisyu dari tasnya, kemudian membuka tutup kotak, dan mengambil satu potong kue.

“Mau coba?” Rana menyerahkan kue itu padaku.

“Jangan khawatir, Hani bilang, kue yang sekarang rasanya lebih enak dibanding buatanku yang pertama. Lebih empuk, lebih legit, dan tidak terlalu manis, jasi bebas kegemukan. Bukan promosi sih...”

“Cuma sedikit menunjukkan diri!” kataku tertawa sembari mengambil kue. Lalu kami berpisah setelah aku mengucapkan terimakasih.

Kamu tahu Shasha? Sejak dulu, aku tak suka makanan manis. Satu-satunya mahkluk manis yang akrab dimulutku hanya teh botol. Tapi kamu tahu? rasanya mulai sekarang, aku akan menyukainya, terutama jika yang membuat makanan itu Rana. Hah! Aku sudah gila ya?

Apakah ini artinya aku sudah menemukan pelataran cinta? Mungkinkah?

* * *